416 total views
Selain itu, Jokowi dianggap sudah mengunakan kuasa eksekutif untuk memperdaya cabang kekuasaan lainnya (terutama peradilan) untuk kepentingan elektoral anak-anaknya. Terlebih, sering kali melucuti kekuatan oposisi menggunakan jerat ancaman hukum.
INN NEWS – Presiden Ke-7 RI, Joko Widodo alias Jokowi masuk daftar nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Selain Jokowi, sejumlah pemimpin negara di dunia juga masuk nominasi tersebut, seperti Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, Mantan Perdana Menteri Bangladesh Hasina, dan Pengusaha dari India Gautam Adani, dalam daftar finalis tokoh terkorup tahun 2024.
Tak disangka, nama Jokowi paling banyak dipilih dari lima finalis tersebut.
Pimpinan sekaligus salah satu pendiri OCCRP, Drew Sullivan, mengungkapkan dalam laman resmi OCCRP, Kamis (2/1/2025) bahwa pemimpin negara yang korup tersebut perlu dipublikasikan karena mereka dinilai melanggar hak asasi manusia.
Sebab pemerintahan yang korup akan membuat konflik karena ketidakstabilan di suatu negara.
Drew menyatakan nominasi didapat dari para pembaca, jurnalis, juri Person of the Year, dan pihak lain dalam jaringan global OCCRP.
Pemerintah yang korup disebut menjalankan roda kepemimpinan dengan tindakan melanggar HAM, memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam, dan menciptakan konflik akibat ketidakstabilan yang melekat pada diri mereka.
“Satu-satunya masa depan mereka adalah keruntuhan yang kejam atau revolusi berdarah,” lanjut Drew.
Mengapa Jokowi Masuk Nominasi?
Masuknya nama Jokowi dalam daftar lima tokoh yang masuk sebagai finalis orang terkorup versi OCCRP tentu membuat gaduh. Bahkan Jokowi sendiri tak terima disebut demikian.
Jokowi meminta pihak yang mengklaim pernyataan tersebut agar membuktikannya. Menurut dia, saat ini memang banyak fitnah dan “framing jahat” yang ditujukan kepada dirinya. Soal apakah ada muatan politis di balik nominasi pimpinan terkorup versi OCCRP, Jokowi justru melemparkan tawa terhadap wartawan. Menurutnya, pihak tertentu bisa saja memanfaatkan organisasi masyarakat sipil untuk melemparkan tuduhan tersebut.
“Orang bisa pakai kendaraan apa pun. Bisa pakai NGO, bisa pakai partai, bisa pakai ormas untuk menuduh, untuk membuat framing jahat, membuat tuduhan jahat-jahat seperti itu ya,” katanya.
Kendati demikian, tak sedikit pula yang menilai OCCRP tentu memiliki basis riset yang kuat dan sudah tepat memasukkan Jokowi sebagai salah satu finalis orang terkorup 2024.
Hal ini misalnya disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah, menilai masuknya nama Jokowi dalam nominasi finalis tokoh kejahatan terorganisir dan korupsi tahun 2024 oleh OCCRP, justru sama sekali tidak mengejutkan.
Malah, kata Wana, ICW menyayangkan bukan Jokowi yang menjadi pemenang nominasi tersebut.
Sebab Jokowi menjadi orkestrator lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal itu meliputi revisi UU KPK, penunjukan pimpinan KPK bermasalah, pemecatan staf KPK, hingga peretasan sejumlah aktivis yang vokal menolak pelemahan pemberantasan korupsi.
“Selain itu, dikooptasinya penegak hukum untuk kepentingan pemilu, penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan kelompok, bahkan dugaan perubahan aturan untuk melanggengkan dinasti politik,” kata Wana dalam keterangannya Kamis (2/1/2025) dari Tirto.
Jokowi juga dianggap mempersempit pengertian korupsi hanya terkait kasus-kasus hukum. Padahal, ICW memandang hal itu mengerdilkan diskursus mengenai korupsi yang ditinjau secara global. Terlebih, mengandalkan sistem hukum yang bobrok juga tidak ada harapan.
Korupsi perlu dilihat dengan kacamata yang lebih besar seperti grand corruption atau state capture. Misal, Wana mencontohkan, bagaimana sebuah aturan dapat berubah seenaknya karena ada kepentingan memberikan privilese kepada tokoh dan keluarganya. Tindakan itu dinilai sebagai salah satu perbuatan koruptif.
Dalam kacamata hukum Indonesia, belum tentu hal semacam itu dinilai terdapat kerugian uang negara serta terjadi suap atau gratifikasi yang bisa dibuktikan terang. Namun, dalam teori korupsi akasi tersebut tindakan bermasalah yang bisa dikategorikan sebagai dugaan korupsi terhadap sistem hukum yang berimplikasi pada sejumlah sektor, misalnya pemilu.
Jenis korupsi sendiri diatur dalam UU 31/1999 soal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya, terdapat tujuh jenis korupsi yang meliputi korupsi dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapa jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, hingga gratifikasi.
“Contoh paling sederhana adalah Soeharto. Dia tidak pernah diadili, tapi rakyat tahu bahwa dia korup,” ungkap Wana.
Laporan OCCRP Punya Basis Riset yang Kuat
Sementara itu, Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menilai laporan dari OCCRP pasti memiliki basis riset yang kuat sebagai media jurnalistik investigatif.
Maka hasil yang memuat Jokowi sebagai salah satau finalis tokoh terkorup seharusnya didasari metode penelitian dan penilaian kredibel. Sayangnya, kata Bagus, metode penelitian dan data dari OCCRP masih sulit untuk diakses secara lengkap untuk umum.
“Jika ada bukti valid atau dapat diverifikasi, maka di situ kita bisa berdiskusi terkait akurasi dari kedekatan nominasi-nominasi atau hasil-hasil riset yang mereka lakukan,” kata Bagus.
Di sisi lain, Bagus menilai Jokowi salah kaprah jika hanya melihat korupsi sebagai perbuatan menggondol duit negara saja. Respons Jokowi yang mempertanyakan dia telah melakukan korupsi apa, dinilai sebagai bentuk gagal paham. Definisi korup sendiri dapat diperluas tidak cuma berkaitan dengan aksi mencuri duit negara.
Misalnya meliputi tindakan nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, hingga praktik-praktik yang menggerus demokrasi. Bagus menilai, dalam konteks situasi di Indonesia hal itu terjadi lewat dugaan kecurangan pemilu. Pasalnya, kecurangan pemilu berkontribusi terhadap tata kelola pemerintahan yang rusak, melanggengkan dinasti politik, dan mengikis demokrasi.
“Ini menunjukkan adanya potensi gagal paham dalam pemahaman nominasi OCCRP,” ujar Bagus.
Smeentara itu Peneliti TII lainnya, Alvin Nicola, turut menguatkan pendapat rekannya.
Menurut Alvin, korupsi bukan cuma mencuri uang negara, namun lebih jauh meliputi apa yang dipraktikan Jokowi selama kepemimpinannya sebagai sebuah tindakan abuse of power. Konteks ini yang juga dipotret oleh OCCRP, dan dinilai Alvin sudah valid secara metodologis.
Pertanda penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan Jokowi dinilai sudah amat jelas dalam bentuk weaponization of law. Menurut Alvin, presidensialisme ala rezim Jokowi bukan hanya memanfaatkan hukum, tetapi juga mempersenjatakan hukum untuk kepentingannya. Hal ini bisa dilihat dari eksploitasi APH (Aparat Penegak Hukum) terutama KPK yang diduga untuk menyerang lawan politik.
Selain itu, Jokowi dianggap sudah mengunakan kuasa eksekutif untuk memperdaya cabang kekuasaan lainnya (terutama peradilan) untuk kepentingan elektoral anak-anaknya. Terlebih, sering kali melucuti kekuatan oposisi menggunakan jerat ancaman hukum.
“Bahkan dalam banyak kasus, laporan-laporan OCCRP seperti Panama Paper dahulu bisa jadi pintu masuk membuka kasus korupsi yang lebih jauh,” ujar Alvin.
Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), Lakso Anindito, menilai laporan OCCRP seharusnya mampu menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum seperti KPK untuk bisa mendapatkan informasi dari sumber lain seperti OCCRP dalam bergerak. Lakso menilai OCCRP adalah organisasi kredibel yang laporannya sudah berhasil membongkar banyak skandal korupsi dan kejahatan terorganisir pada tingkat internasional.
Selain popular vote, ungkap Lakso, tentu dewan juri yang kredibel telah mempertimbangkan secara komprehensip mengapa memasukkan Jokowi sebagai salah satu finalis. Ditambah, Transparency International menunjukan kinerja Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang stagnan dan selaras dengan Indeks Kinerja Pemberantasan Korupsi versi IM57+ Institute: semua menunjukan bahwa kinerja pemberantasan korupsi Indonesia terus menurun.
“Terlebih, adanya berbagai skandal yang diduga melibatkan keluarga Presiden [Jokowi] seperti Blok Medan pada kasus korupsi Gubernur Maluku Utara dan kasus fasilitas private jet serta catatan skandal MK,” ujar Lakso.
Tanggapan KPK
Sayangnya, KPK sendiri agaknya cukup lesu dalam merespons hasil laporan OCCRP. Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, hanya mempersilakan siapa saja yang memiliki informasi atau bukti terkait dugaan korupsi yang dilakukan mantan Presiden ke-7, Joko Widodo, untuk melapor ke aparat penegak hukum melalui saluran dan cara yang tepat.
Beraroma normatif, Tessa turut mengatakan, KPK mempersilakan siapa saja melapor tak cuma terkait persoalan Jokowi saja, namun juga pegawai negeri atau penyelenggara negara lainnya yang diduga melakukan korupsi.
Sebagai informasi, OCCRP merupakan organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia yang berkantor pusat di Amsterdam dan mempunyai staf di enam benua. Organisasi ini menyebut dirinya sebagai ruang berita nirlaba berbasis misi yang bermitra dengan outlet media lain. Selain itu, sayap pengembangan media OCCRP diklaim membantu outlet investigasi dari seluruh dunia.
OCCRP didirikan oleh wartawan investigasi kawakan, Drew Sullivan dan Paul Radu, pada 2007 silam. Sejak 2012, Person of the Year OCCRP telah memilih tokoh yang paling banyak menimbulkan kekacauan di seluruh dunia lewat perilaku kejahatan terorganisir dan korupsi. Pemenangnya dipilih oleh panel juri ahli dari berbagai lapisan masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis.