464 total views
JAKARTA – Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menerapkan kebijakan penghematan anggaran yang signifikan, dengan target efisiensi mencapai Rp306 triliun.
Langkah ini diambil untuk mendukung program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan melalui penyediaan makanan bergizi bagi anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Namun, langkah tersebut tidak luput dari berbagai dampak negatif dan kritik dari para pengamat.
Dampak Negatif Pemangkasan Anggaran
Penurunan Daya Beli Masyarakat
Pemotongan anggaran untuk biaya operasional, kegiatan seremonial, dan perjalanan dinas berpotensi mengurangi pendapatan bagi sektor-sektor terkait, seperti pariwisata, transportasi, dan jasa.
Hal ini dapat menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya memperlambat konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi.
Pengangguran dan Ketidakpastian Investasi: Pemangkasan anggaran di berbagai kementerian dan lembaga sering kali berarti penurunan jumlah tenaga kerja honorer atau kontrak.
Ini tidak hanya meningkatkan angka pengangguran tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi investor, yang mungkin meragukan stabilitas ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Pengurangan Belanja Daerah
Transfer ke daerah yang dipotong dapat mempengaruhi kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan program-program lokal, termasuk infrastruktur dan layanan publik.
Ini bisa mengancam kemandirian fiskal daerah, terutama di daerah yang baru pemekaran.
Dampak pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Anggaran untuk pendidikan dan kesehatan juga terkena dampak, dengan potensi pemangkasan yang bisa menurunkan kualitas layanan. Misalnya, pemangkasan di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bisa berakibat pada peningkatan angka putus sekolah dan ketimpangan akses pendidikan.
Ekonom UGM, Akhmad Akbar Susamto: “Pemotongan anggaran, khususnya di sektor yang produktif, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Program sosial seperti MBG perlu dilakukan dengan strategi yang jelas agar tidak memberatkan ekonomi nasional.”
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira: “Efisiensi anggaran yang terlalu agresif bisa menurunkan belanja pemerintah hingga 5% dari PDB, yang jelas berakibat negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus menjaga stabilitas dalam kebijakan fiskal untuk tetap menarik investasi.”
Sementara itu, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky mengatakan efisiensi anggaran saja tidak cukup untuk menanggung beban keuangan yang diperlukan untuk MBG.
“Kita harus waspada pada risiko berat pada fiskal jika anggaran untuk program ini terus ditambah tanpa strategi yang jelas untuk menyeimbangkan anggaran lain.” pungkasnya.
Pengamat Kesehatan dari CISDI, Diah Saminarsih mengatakan evaluasi cepat dan perbaikan dalam pelaksanaan program MBG sangat penting.
“Kita melihat berbagai masalah seperti kualitas makanan dan distribusi yang belum optimal, yang perlu segera diatasi untuk memastikan manfaat program ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat.” tuturnya.
Meski kebijakan penghematan anggaran ini memiliki niat baik untuk mendukung program sosial seperti MBG, implementasinya perlu dipertimbangkan dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif yang bisa menggerogoti kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Para pengamat menekankan pentingnya perencanaan jangka panjang dan transparansi dalam pengelolaan anggaran untuk memastikan kebijakan ini memberikan manfaat maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia.

Komentar Warganet di X (Twitter)
@RizalEkonomi: “Efisiensi anggaran ini bagus tapi kalau PHK terus terjadi, siapa yang akan beli makanan bergizi gratis ini? Pertumbuhan ekonomi jadi kacau.”
@IbuRumahTangga: “Program MBG penting, tapi kualitas makannya harus diperhatikan. Saya lihat anak-anak di sekolah anak saya sering komplain soal rasa.”
@PekerjaKontrak: “Pemotongan anggaran ini makin bikin hidup sulit. Kerjaan sudah susah dicari, sekarang anak-anak juga harus berjuang untuk makan yang layak.”
@InvestorMuda: “Kondisi ekonomi semakin tidak stabil. PHK di mana-mana, investor asing mulai ragu dengan kebijakan fiskal kita.”