261 total views
INN NEWS – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang baru berjalan beberapa bulan sejak dilantik pada Oktober 2024 telah menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena kebijakan-kebijakan yang diusung, tetapi juga karena gaya komunikasi sang presiden yang kerap memancing reaksi.
Salah satu kebiasaan Prabowo yang kembali mencuat adalah penggunaan kata “ndasmu”—sebuah ungkapan kasar dalam bahasa Jawa yang berarti “kepalamu”—untuk menanggapi kritik.
Kata ini, yang pernah ia lontarkan saat kampanye dan kini diulang dalam pidato resmi, seolah menjadi simbol pendekatan pemerintahannya: tegas, impulsif, dan tak jarang mengabaikan nuansa diplomasi. Pertanyaannya, apakah kebijakan pemerintah saat ini juga mencerminkan sikap “ndasmu” yang keras dan kurang terukur ini?
Program Makan Bergizi Gratis: Ambisi Besar, Eksekusi Dipertanyakan
Salah satu kebijakan andalan Prabowo adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menargetkan anak-anak sekolah mendapatkan makanan bergizi untuk mendukung pertumbuhan dan pendidikan.
Program ini, yang dijanjikan sejak masa kampanye, mulai diluncurkan pada Januari 2025 dengan anggaran mencapai Rp71 triliun untuk tahun ini. Namun, pelaksanaannya menuai kontroversi.
Banyak pihak, termasuk akademisi dan masyarakat sipil, mengkritik minimnya transparansi dalam distribusi dan kualitas gizi yang disajikan. Ada laporan bahwa porsi makanan di beberapa daerah jauh dari standar yang dijanjikan, bahkan dianggap “seadanya.”
Prabowo menanggapi kritik ini dalam pidato HUT ke-17 Partai Gerindra pada 15 Februari 2025 dengan nada khasnya: “Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar belum banyak. Kalau enggak ada wartawan, saya bilang ndasmu.
” Respons ini tidak hanya memperlihatkan ketidaksabaran terhadap kritik, tetapi juga mengesankan kurangnya kesiapan pemerintah untuk berdialog secara substantif. Kebijakan MBG, meski berangkat dari niat baik, terkesan dipaksakan tanpa perencanaan matang—seperti kata “ndasmu” yang terucap spontan tanpa memikirkan dampaknya.
Kabinet Gemuk: Efisiensi atau Pemborosan?
Kontroversi lain muncul dari formasi Kabinet Merah Putih yang dipimpin Prabowo. Dengan 48 menteri, 55 wakil menteri, dan puluhan staf khusus serta utusan, kabinet ini menjadi yang terbesar sejak era Orde Baru. Kritikus menyebutnya “kabinet gemuk,” menuding bahwa jumlah besar ini justru menghambat koordinasi dan membengkakkan anggaran negara di tengah tekanan efisiensi.
Prabowo lagi-lagi menjawab dengan gaya “ndasmu”: “Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar… ndasmu.” Pernyataan ini disambut tawa kader partai, tetapi bagi publik, itu menunjukkan sikap defensif yang menutup ruang diskusi.
Kebijakan ini, seperti respons “ndasmu,” terlihat lebih mementingkan citra kekuatan dan dominasi ketimbang efisiensi atau logika praktis. Alih-alih menjelaskan rasionalitas di balik jumlah menteri yang jumbo, pemerintah memilih pendekatan keras yang mengabaikan pertimbangan publik.
Akibatnya, banyak yang mempertanyakan apakah kabinet ini benar-benar dirancang untuk bekerja demi rakyat atau sekadar memenuhi janji politik dan akomodasi kekuatan pendukung.
Efisiensi Anggaran dan Kebijakan yang Berubah-ubah
Kebijakan efisiensi anggaran senilai Rp306,69 triliun juga tak luput dari sorotan. Awalnya ditujukan untuk menghemat belanja negara, kebijakan ini malah memicu protes mahasiswa karena memotong dana pendidikan, termasuk beasiswa.
Tagar #IndonesiaGelap menjadi trending di media sosial sebagai bentuk resistensi. Menariknya, setelah gelombang kritik, Prabowo membatalkan beberapa potongan anggaran, termasuk untuk beasiswa KIP, dengan dalih “berpihak pada rakyat.”
Namun, inkonsistensi ini—membuat kebijakan lalu membatalkannya setelah diprotes—mencerminkan pendekatan yang serampangan, mirip dengan spontanitas “ndasmu” yang dilontarkan tanpa pertimbangan matang.
Contoh lain adalah polémik larangan penjualan elpiji 3 kg oleh pengecer yang berlaku 1 Februari 2025, tetapi dicabut empat hari kemudian setelah masyarakat mengeluh. Keputusan yang bolak-balik ini menunjukkan kurangnya kajian mendalam sebelum kebijakan diluncurkan, seolah pemerintah hanya bereaksi, bukan merencanakan.
“Ndasmu” dalam Kebijakan: Tegas atau Gegabah?
Kebiasaan Prabowo menyebut “ndasmu” tampaknya bukan sekadar gaya berbicara, tetapi juga cerminan pola pikir dalam mengambil keputusan. Kebijakan-kebijakan di atas—MBG, kabinet gemuk, dan efisiensi anggaran—memiliki kesamaan: ambisi besar, eksekusi terburu-buru, dan respons keras terhadap kritik.
Seperti “ndasmu” yang kasar dan impulsif, kebijakan pemerintah saat ini terkesan lebih mengutamakan kesan tegas ketimbang substansi atau dialog.
Pengamat politik menilai gaya ini berpotensi membahayakan. Ketika kritik dibalas dengan umpatan atau kebijakan yang inkonsisten, kredibilitas pemerintah dipertaruhkan. Publik menginginkan pemimpin yang mendengarkan, bukan sekadar memaksakan kehendak.
Jika “ndasmu” terus menjadi simbol pendekatan Prabowo, baik dalam kata maupun tindakan, maka demokrasi dan kepercayaan rakyat bisa menjadi taruhannya. Di tengah tantangan ekonomi dan sosial yang kompleks, Indonesia butuh lebih dari sekadar kebijakan “ndasmu”—yang keras di permukaan, tetapi rapuh di dasarnya.