581 total views
INN INTERNASIONAL – Dua proyek megacity ambisius, Xiongan New Area di Tiongkok dan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Indonesia, menjadi sorotan dunia sebagai simbol visi besar para pemimpin mereka, Xi Jinping dan Joko Widodo (Jokowi).
Xiongan, yang digadang-gadang sebagai “kota masa depan” oleh Xi Jinping, bertujuan untuk mendekongesti Beijing dan menampilkan model urbanisasi modern berbasis teknologi tinggi.
Sementara itu, IKN di Kalimantan Timur diusung Jokowi untuk mengatasi masalah Jakarta yang overcrowded dan menciptakan ibu kota baru yang bebas dari jejak kolonial.
Namun, setelah bertahun-tahun pembangunan, Xiongan menunjukkan tanda-tanda kegagalan, dan IKN tampaknya mengikuti jejak yang salah dari pendekatan serupa. Artikel ini membandingkan kedua proyek tersebut, menyoroti kelemahan Xiongan dan risiko yang dihadapi IKN.
Xiongan Megacity Xi Jinping yang Sepi
Diluncurkan pada April 2017, Xiongan New Area dirancang sebagai kota pintar yang hijau, dengan luas 2.000 kilometer persegi—hampir tiga kali lipat New York City—dan populasi target 3 hingga 5 juta jiwa. Xi Jinping menyebutnya sebagai “proyek nasional berdampak seribu tahun,” dengan investasi mencapai lebih dari 657 miliar yuan (sekitar 93 miliar USD) hingga 2023.
Infrastruktur megah seperti stasiun kereta raksasa yang mampu menampung 100.000 penumpang per hari telah dibangun, tetapi kenyataannya jauh dari harapan.
Stasiun ini sering kali hanya diisi oleh petugas kebersihan, dan kota ini tetap sepi dengan hanya 170.000 penduduk baru—jauh di bawah target—meskipun secara administratif mengklaim 1,2 juta jiwa dari wilayah sekitar yang dianeksasi.
Kegagalan Xiongan terletak pada pendekatan top-down yang kaku.
Pemerintah Tiongkok memberlakukan kontrol ketat, seperti larangan perdagangan properti dan pembatasan bisnis, yang menghambat pertumbuhan organik. Lokasinya di rawa-rawa Hebei yang rawan banjir juga memunculkan kritik, terutama setelah banjir 2023, ketika air dialihkan dari Xiongan ke desa-desa tetangga, memicu protes publik.
Minimnya lapangan kerja dan insentif ekonomi membuat penduduk enggan pindah, menjadikan Xiongan sebagai “kota hantu” senilai miliaran dolar.
Meski Xi tetap berkomitmen—dengan pembiayaan obligasi khusus mencapai rekor 14 miliar yuan pada kuartal ketiga 2024—proyek ini gagal menarik penduduk dan bisnis seperti yang dijanjikan.
IKN Meniru Model yang Salah?
Di sisi lain, IKN Jokowi, yang diumumkan pada 2019, memiliki visi serupa: mengalihkan beban dari Jakarta yang padat dan tenggelam ke kota baru di Kalimantan Timur.
Dengan luas 2.561 kilometer persegi dan target populasi 2 juta jiwa, IKN dipromosikan sebagai kota hijau yang bebas dari pengaruh kolonial Belanda. Hingga 2024, pembangunan telah menghabiskan dana signifikan, dengan fokus pada infrastruktur dasar seperti istana presiden dan perumahan aparatur sipil negara (ASN).
Namun, seperti Xiongan, IKN menghadapi tantangan serius yang mencerminkan kelemahan pendekatan serupa.
Pertama, IKN mengadopsi model perencanaan terpusat ala Xiongan, di mana pemerintah menjadi penggerak utama tanpa ruang besar bagi inisiatif swasta atau pertumbuhan organik.
Kedua, lokasi IKN di kawasan hutan dan lahan gambut Kalimantan Timur menimbulkan kekhawatiran lingkungan, mirip dengan kritik terhadap rawa-rawa Xiongan.
Ketiga, ada ketidakpastian soal daya tarik IKN bagi penduduk dan investor. Banyak ASN dan pekerja Jakarta diperkirakan enggan pindah ke wilayah yang dianggap terpencil, sementara sektor swasta belum menunjukkan minat besar karena minimnya insentif ekonomi.
Perbandingan dan Pelajaran
Secara konseptual, Xiongan dan IKN memiliki kesamaan: keduanya adalah proyek ideologis yang didorong oleh ambisi pribadi pemimpin, dengan fokus pada konstruksi fisik megah ketimbang keberlanjutan ekonomi.
Xiongan menunjukkan bahwa infrastruktur canggih saja tidak cukup tanpa ekosistem yang mendukung kehidupan dan bisnis. Shenzhen, sebagai perbandingan, sukses karena kebebasan eksperimentasi pasar dan kedekatan dengan Hong Kong, sesuatu yang absen di Xiongan dan tampaknya juga di IKN.
IKN berisiko mengulangi kegagalan Xiongan jika tidak belajar dari kesalahannya. Ketergantungan pada industri ekstraktif seperti batu bara di Kalimantan Timur—yang bertentangan dengan visi “kota hijau”—dan kurangnya strategi untuk menarik penduduk serta investor swasta dapat membuat IKN menjadi proyek mahal tanpa hasil nyata.
Sementara Xiongan didukung oleh kekuatan ekonomi Tiongkok yang besar, Indonesia memiliki sumber daya lebih terbatas, sehingga margin kesalahan IKN jauh lebih kecil.