324 total views
INN NEWS – Penunjukkan tentara aktif untuk menduduki jabatan strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia.
Kebijakan ini, yang belakangan digaungkan oleh pemerintah, memunculkan berbagai pandangan, terutama dari kalangan pengamat militer dan hukum. Meskipun dianggap sebagai upaya penyegaran atau pemanfaatan kompetensi, banyak pihak menilai langkah ini membawa risiko besar terhadap profesionalitas, hukum, dan tata kelola BUMN.
Berikut bahaya yang mungkin timbul jika anggota TNI aktif masuk BUMN.
1. Pelanggaran Aturan Hukum
Salah satu isu utama yang ditekankan adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal 47 ayat 1, disebutkan bahwa prajurit TNI aktif dilarang menduduki jabatan sipil, kecuali dalam beberapa pengecualian yang diatur pada ayat 2, seperti jabatan di lembaga tertentu yang berkaitan langsung dengan pertahanan.
Namun, posisi seperti Direktur Utama BUMN tidak termasuk dalam daftar pengecualian tersebut.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menegaskan, “Penunjukan tentara aktif sebagai Dirut BUMN jelas melanggar UU TNI. Ini bukan hanya soal formalitas hukum, tetapi juga menciptakan preseden buruk yang bisa melemahkan supremasi sipil.”
Menurutnya, aturan ini dibuat untuk menjaga netralitas TNI dan mencegah kembalinya dwifungsi seperti pada era Orde Baru.
2. Ketidakjelasan Status Hukum
Keterlibatan tentara aktif di BUMN juga memunculkan ambiguitas dalam penegakan hukum. Jika terjadi kasus seperti korupsi, pertanyaan muncul: apakah yang bersangkutan akan diadili di pengadilan sipil atau militer?
Ketidakjelasan ini bisa dimanfaatkan sebagai celah untuk menghambat proses hukum.
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, “Kalau tentara aktif masuk BUMN dan terlibat korupsi, ini jadi masalah besar. Pengadilan militer tidak punya yurisdiksi penuh atas kasus sipil, sementara pengadilan sipil bisa kesulitan karena status militernya. Ini celah yang sangat berbahaya.”
Ia menambahkan bahwa situasi ini berpotensi memperumit akuntabilitas dan transparansi.
3. Ancaman terhadap Profesionalitas BUMN
BUMN adalah entitas bisnis yang seharusnya dikelola oleh profesional dengan keahlian di bidang ekonomi, manajemen, atau industri terkait.
Menempatkan tentara aktif yang latar belakangnya lebih banyak di bidang militer dapat mengganggu tata kelola dan efisiensi perusahaan.
Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menyoroti hal ini dengan tegas, “BUMN bukan tempat eksperimen. Kita butuh orang yang paham bisnis, bukan sekadar displin militer. Kalau salah langkah, dampaknya bisa ke ekonomi nasional.”
Ia juga mempertanyakan relevansi pengalaman militer dalam konteks bisnis, terutama di sektor yang kompetitif dan kompleks seperti BUMN.
4. Risiko Politicization dan Militerisasi
Kebijakan ini juga memicu kekhawatiran akan kembalinya pengaruh militer dalam ranah sipil, mengingat sejarah panjang dwifungsi TNI di masa lalu. .
Pengamat politik, Connie Rahakundini Bakrie, memperingatkan, “Ini langkah mundur bagi demokrasi. Menempatkan tentara aktif di BUMN bisa jadi pintu masuk militerisasi di sektor sipil, dan itu sangat berbahaya bagi supremasi sipil yang sudah kita bangun susah payah.”
Menurutnya, langkah ini bisa diartikan sebagai politisasi jabatan publik, yang pada akhirnya merusak kredibilitas BUMN sebagai entitas independen dari intervensi politik atau militer.
5. Dampak pada Citra TNI dan BUMN
Keterlibatan tentara aktif juga berpotensi mencoreng citra TNI sebagai institusi pertahanan yang netral, sekaligus mengurangi kepercayaan publik terhadap BUMN.
Jika kinerja BUMN menurun atau terjadi skandal, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga TNI sebagai institusi.
“Citra TNI bisa tercemar kalau prajurit aktif gagal atau terlibat masalah di BUMN. Ini tidak adil bagi TNI yang seharusnya fokus pada tugas pertahanan,” ujar Khairul Fahmi, menegaskan bahwa TNI sebaiknya tidak dijadikan alat untuk kepentingan di luar mandatnya.
Masuknya tentara aktif ke BUMN membawa sejumlah bahaya, mulai dari pelanggaran hukum, ketidakjelasan status, hingga ancaman terhadap profesionalitas dan demokrasi.
Komentar para pengamat menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak hanya berisiko bagi tata kelola BUMN, tetapi juga bagi stabilitas sistem hukum dan politik Indonesia.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali langkah ini demi menjaga integritas institusi, baik TNI maupun BUMN, serta memastikan supremasi sipil tetap terjaga.
Seperti yang dikatakan Hikmahanto Juwana, “Jangan sampai niat baik untuk penyegaran malah jadi bumerang yang merusak sistem yang sudah ada.” Kebijakan ini, jika diteruskan, harus diiringi dengan perubahan regulasi yang jelas dan pengawasan ketat agar tidak menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat.