284 total views
INN NEWS – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang resmi dilantik pada 20 Oktober 2024, menghadapi tantangan besar di awal masa jabatannya.
Salah satu isu yang mencuat adalah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di berbagai sektor industri di Indonesia.
Fenomena ini memicu kekhawatiran di kalangan pekerja, ekonom, dan DPR, dengan desakan agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki iklim industri domestik.
Berikut adalah fakta-fakta terkini terkait PHK massal di awal era Prabowo:
1. Penutupan Pabrik dan PHK Ribuan Pekerja
Pada 1 Maret 2025, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi menutup pabriknya. Penutupan ini mengakibatkan PHK massal terhadap 10.969 pekerja.
Selain Sritex, sejumlah perusahaan lain seperti PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, PT Tokai Kagu, PT Danbi International Garut, dan PT Bapintri juga dilaporkan melakukan PHK.
Total, lebih dari 14.000 pekerja kehilangan pekerjaan akibat penutupan pabrik-pabrik tersebut di awal Maret 2025. Anggota Komisi IX DPR, Alifudin, menyatakan bahwa kondisi ini berisiko memperburuk perekonomian nasional jika tidak ditangani serius.
2. Kebijakan Efisiensi Anggaran dan Dampaknya
Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 pada 22 Januari 2025, yang mengamanatkan efisiensi belanja APBN dan APBD senilai Rp306,7 triliun.
Kebijakan ini mencakup pemangkasan anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp256,1 triliun. Salah satu dampaknya adalah PHK massal di kalangan karyawan kontrak di lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI di berbagai daerah.
Posts di X pada Februari 2025 menyebutkan bahwa pemangkasan ini merupakan imbas dari beban keuangan yang berat bagi pemerintahan baru, meskipun belum ada data resmi yang merinci jumlah pasti karyawan kontrak yang terkena PHK di sektor ini.
3. Sektor Manufaktur Jadi Penyumbang PHK Terbesar
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar PHK sepanjang 2024, dengan 24.013 pekerja terdampak hingga Oktober 2024.
Tren ini tampaknya berlanjut di awal 2025, dengan kasus Sritex sebagai contoh nyata.
Rendahnya daya beli masyarakat, yang tercermin dari deflasi pada Agustus-September 2024, menjadi salah satu pemicu utama.
Dalam dokumen RPJMN 2025-2029 yang diteken Prabowo pada 10 Februari 2025, disebutkan bahwa penurunan permintaan barang industri memaksa perusahaan mengurangi tenaga kerja atau bahkan menutup operasional.
4. Tanggapan Pemerintah dan Kontroversi
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, pada 5 Maret 2025, membantah adanya “badai PHK” massal yang melanda Indonesia.
Ia menyatakan bahwa tidak semua laporan PHK sesuai dengan fakta di lapangan dan bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah mitigasi. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025, yang diteken Prabowo pada 7 Februari 2025.
PP ini menjamin pekerja yang terkena PHK mendapatkan uang tunai sebesar 60 persen dari upah selama maksimal enam bulan, dengan iuran JKP diturunkan dari 0,46 persen menjadi 0,36 persen untuk meringankan beban perusahaan. Namun, kebijakan ini belum sepenuhnya meredam kekhawatiran, karena PHK terus terjadi.
5. Dampak Sosial-Ekonomi dan Kritik
Gelombang PHK ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan memicu perlambatan ekonomi jangka panjang. Alifudin dari DPR memperingatkan bahwa tanpa iklim industri yang stabil, PHK massal bisa meluas.
Sementara itu, kebijakan efisiensi anggaran juga dikritik karena dapat memengaruhi sektor vital seperti perhotelan dan pariwisata, yang bergantung pada perjalanan dinas pemerintah.
Penghapusan gaji ke-13 dan THR bagi PNS serta PHK pegawai honorer non-PNS, sebagaimana disebutkan dalam analisis pada Februari 2025, dikhawatirkan akan memperburuk stabilitas ekonomi.
6. Upaya Mitigasi
Pemerintah daerah, seperti Disperinaker Sukoharjo, mengumumkan 10.133 lowongan kerja khusus untuk eks karyawan Sritex, dengan prioritas dalam proses rekrutmen.
Selain itu, pemerintah pusat mengandalkan program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk menstimulasi ekonomi. Namun, efektivitas langkah-langkah ini masih dipertanyakan, mengingat skala PHK yang besar dan tantangan struktural di industri domestik.
PHK massal di awal pemerintahan Prabowo mencerminkan tantangan ekonomi yang kompleks, dari warisan kondisi industri sebelumnya hingga kebijakan efisiensi anggaran yang agresif.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi seperti PP 6/2025 untuk melindungi pekerja, fakta di lapangan menunjukkan bahwa solusi jangka pendek belum cukup mengatasi akar masalah.
Pemerintah diminta untuk fokus memperbaiki iklim industri domestik dan menciptakan lapangan kerja baru agar gelombang PHK tidak semakin meluas.