620 total views
INN NEWS – Daya beli masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan tanda-tanda pelemahan yang cukup signifikan.
Fenomena ini menjadi perhatian serius karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pilar utama penggerak ekonomi nasional, menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Ketika daya beli menurun, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pelaku usaha, terutama UMKM, hingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Lalu, apa saja faktor yang menyebabkan pelemahan daya beli ini? Berikut beberapa penyebab utama yang dapat diidentifikasi berdasarkan kondisi terkini.
1. Deflasi Berkepanjangan dan Lesunya Permintaan
Indonesia telah mengalami deflasi selama beberapa bulan berturut-turut pada tahun 2024, dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulanan sebesar 0,12 persen pada September 2024.
Meskipun deflasi secara teori menunjukkan penurunan harga barang dan jasa, yang seharusnya menguntungkan konsumen, kenyataannya kondisi ini justru menjadi indikator melemahnya permintaan masyarakat.
Ekonom seperti Didik J. Rachbini dari INDEF menyebutkan bahwa deflasi yang berkepanjangan adalah “alarm bahaya” bagi perekonomian, karena mencerminkan daya beli yang lesu.
Ketika masyarakat tidak memiliki cukup pendapatan atau kepercayaan untuk berbelanja, permintaan menurun, dan harga pun terpaksa diturunkan oleh produsen.
2. Gelombang PHK dan Tingginya Pengangguran
Salah satu faktor utama yang melemahkan daya beli adalah meningkatnya jumlah pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketidakstabilan ekonomi, baik akibat tekanan global maupun domestik, telah menyebabkan banyak perusahaan mengurangi tenaga kerja. Ketika lapangan kerja menyempit, pendapatan masyarakat berkurang drastis, memaksa mereka bergantung pada tabungan atau beralih ke sektor informal yang sering kali tidak stabil.
Penurunan pendapatan ini secara langsung menggerus kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa, terutama yang bersifat non-primer.
3. Maraknya Judi Online dan Pinjaman Ilegal
Direktur Utama BCA, Jahja Setiaatmadja, pernah menyoroti maraknya judi online (judol) sebagai salah satu penyebab menurunnya daya beli. Banyak masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah, kehilangan uang dalam jumlah besar akibat aktivitas ini.
Selain itu, meskipun pinjaman online ilegal (pinjol) telah diberantas oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dampaknya masih terasa.
Selama masa pandemi, banyak individu terjebak dalam siklus “gali lubang tutup lubang” untuk memenuhi kebutuhan, yang kini memperburuk kondisi finansial mereka dan mengurangi dana yang tersedia untuk konsumsi.
4. Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok dan Stagnasi Pendapatan
Meskipun terjadi deflasi pada beberapa komoditas, harga kebutuhan pokok seperti pangan sering kali tetap fluktuatif dan cenderung meningkat dalam jangka panjang.
Survei dari Inventure menunjukkan bahwa 85% responden mengeluhkan lonjakan harga kebutuhan dasar sebagai penyebab utama tekanan finansial. Di sisi lain, pendapatan masyarakat, terutama kelas menengah, cenderung stagnan.
Data menunjukkan pertumbuhan upah riil pada 2024 hanya mencapai 0,7 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sekitar 5 persen. Ketimpangan ini membuat masyarakat sulit mengejar biaya hidup yang terus naik.
5. Kebijakan Pajak dan Berkurangnya Diskon Belanja
Kenaikan pajak, seperti rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025, turut menekan daya beli. Pajak yang lebih tinggi mengurangi pendapatan riil masyarakat, sehingga mereka memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan.
Selain itu, berkurangnya diskon dari platform belanja online juga menjadi faktor. Jika beberapa tahun lalu e-commerce “bakar uang” dengan menawarkan potongan harga besar, kini praktik tersebut menurun, membuat masyarakat harus membayar lebih mahal untuk barang yang sama.
6. Ketidakpastian Ekonomi Global dan Domestik
Faktor eksternal seperti pelemahan ekonomi di negara mitra dagang, misalnya China, berdampak pada ekspor Indonesia.
Penurunan permintaan ekspor menyebabkan banyak industri lokal mengalami kontraksi, yang berujung pada PHK dan penurunan produksi.
Di dalam negeri, ketidakpastian politik dan ekonomi juga membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam berbelanja, memilih menabung ketimbang mengeluarkan uang untuk kebutuhan sekunder atau tersier.
Dampak dan Tantangan ke Depan
Pelemahan daya beli ini membawa risiko serius bagi perekonomian Indonesia. Konsumsi rumah tangga yang lesu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan produktivitas usaha, dan memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi.
Jika tidak ditangani, deflasi berkepanjangan bahkan bisa memicu krisis ekonomi yang lebih dalam. Pemerintah perlu segera bertindak dengan kebijakan yang tepat, seperti stimulus fiskal berupa bantuan sosial, insentif pajak, atau penciptaan lapangan kerja, untuk mengembalikan kepercayaan dan kemampuan belanja masyarakat.
Pada akhirnya, daya beli yang melemah bukan sekadar masalah statistik, tetapi cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi Indonesia. Tanpa solusi yang komprehensif, roda ekonomi akan semakin sulit berputar, dan kesejahteraan masyarakat bisa terus tergerus.


