349 total views
INN NEWS – Nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998 menjadi sorotan utama para pengamat ekonomi. Pada Kamis pagi, 27 Maret 2025, rupiah tercatat berada di angka Rp16.600 per dolar AS, turun 18 poin atau minus 0,11%.
Puncak pelemahan terjadi pada perdagangan Selasa, 25 Maret 2025, ketika rupiah ditutup di level Rp16.622—hanya selangkah lagi dari rekor terendah sepanjang masa, Rp16.900, yang tercatat pada 17 Juni 1998.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menunjukkan tren penurunan, mencerminkan ketidakstabilan ekonomi yang kian nyata. Pertanyaannya kini: apakah Indonesia berada di ambang krisis?
Penyebab Pelemahan Rupiah dan Ketidakpastian Fiskal
Menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, pelemahan rupiah yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir semakin memburuk sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Data menunjukkan bahwa pada November 2024 hingga Januari 2025, rupiah bergerak di kisaran Rp15.826-Rp16.355, sempat menguat sebentar, lalu ambruk hingga menyentuh Rp16.430 sebulan kemudian.
Dari sisi domestik, ada beberapa faktor yang memicu ketidakpercayaan investor. Pertama, kebijakan fiskal pemerintah, khususnya alokasi anggaran besar untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp171 triliun dalam APBN 2025, dinilai menciptakan ketidakpastian.
Baca juga:
Rupiah Anjlok Mendekati Krisis 1998, Peringatan Dini untuk Pemerintah!
Untuk mendanai program ini, pemerintah memangkas belanja barang hingga 40% dan merealokasi subsidi yang dianggap kurang tepat sasaran. “Makan bergizi gratis saja sampai ratusan triliun, jadi ada ketidakpastian mengenai kesehatan fiskal Indonesia,” ungkap Media Askar pada 26 Maret 2025, dikutip.
Ketidakpastian ini mendorong investor menarik dana mereka dari Indonesia.
Kedua, pembentukan super holding BUMN, Danantara, juga menjadi sorotan. Investor memandang perubahan tata kelola ini terlalu tergesa-gesa dan kurang kredibel, terutama karena beberapa posisi strategis diisi oleh politisi.
Ketiga, penurunan konsumsi domestik akibat pemutusan hubungan kerja dan penutupan pabrik-pabrik turut memperburuk situasi. Isu ketidakharmonisan di internal pemerintah, termasuk rumor rencana mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, semakin menambah ketidakstabilan.
Faktor lain yang tak kalah signifikan adalah potensi kemunduran demokrasi. Pengesahan Undang-Undang TNI yang memperkuat peran militer dianggap dapat menciptakan “sentralisasi fungsi pemerintahan”, mengurangi independensi lembaga negara, dan mengganggu kebebasan pasar. “Kalau terlalu banyak intervensi, pemerintah dianggap tidak kredibel,” tegas Media Askar.

Di sisi eksternal, kembalinya perang dagang akibat kebijakan tarif Amerika Serikat dan ketidakpastian global turut berkontribusi. Namun, Media Askar menilai faktor domestik lebih dominan dalam mendorong pelemahan rupiah saat ini.
Apakah Indonesia Akan Mengalami Krisis?
Para pengamat ekonomi memperingatkan bahwa Indonesia rentan tergelincir ke dalam krisis jika tidak ada langkah konkret untuk mengembalikan kepercayaan investor dan menstabilkan anggaran.
Ruang fiskal yang semakin sempit akibat pelemahan rupiah dapat memperburuk defisit anggaran dan meningkatkan biaya utang luar negeri. Meski demikian, belum ada konsensus pasti bahwa krisis akan terjadi. Banyaknya variabel, baik domestik maupun global, membuat situasi ini sulit diprediksi secara pasti.
Reaksi Pemerintah Indonesia
Hingga saat ini, pemerintah belum merilis pernyataan resmi terkait pelemahan rupiah yang terus berlanjut.
Namun, kebijakan efisiensi anggaran dan realokasi subsidi menunjukkan upaya untuk menjaga stabilitas fiskal sambil mewujudkan janji politik. Di sisi lain, pembentukan Danantara dan penguatan peran militer mencerminkan pendekatan pemerintah yang lebih sentralistik, meski hal ini justru memicu kekhawatiran investor.
Dampak Pelemahan Rupiah bagi Masyarakat
Pelemahan rupiah berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Harga barang impor, seperti bahan baku industri dan kebutuhan pokok tertentu, akan melonjak, memicu inflasi.
Bagi pelaku usaha yang bergantung pada utang dalam dolar AS, beban pembayaran akan semakin berat. Penurunan konsumsi domestik juga dapat memperparah angka pengangguran, terutama dengan banyaknya PHK dan penutupan pabrik.
Di sisi lain, sektor ekspor berpotensi mendapat keuntungan, meski efeknya terbatas jika ketidakpastian global terus berlanjut.
Kebijakan yang Harus Diambil Pemerintah
Untuk mencegah krisis, government diharapkan mengambil langkah strategis berikut:
Stabilisasi Nilai Tukar: Bank Indonesia perlu memperkuat intervensi di pasar valas dan menjaga cadangan devisa untuk menahan laju pelemahan rupiah.
Kebijakan Fiskal yang Pruden: Pemerintah harus mengevaluasi kembali prioritas belanja, termasuk program MBG, agar tidak membebani defisit anggaran secara berlebihan.
Meningkatkan Kepercayaan Investor: Transparansi dalam pengelolaan Danantara dan pengurangan intervensi politik dalam kebijakan ekonomi dapat mengembalikan kepercayaan pasar.
Stimulus Ekonomi Domestik: Dukungan kepada UMKM dan sektor riil dapat mendorong konsumsi dan mengurangi dampak PHK.
Diplomasi Ekonomi: Mengantisipasi perang dagang global, pemerintah perlu memperkuat kerja sama dengan mitra dagang utama untuk menjaga stabilitas ekspor.
Indonesia saat ini berada di persimpangan kritis. Pelemahan rupiah dan IHSG yang mendekati level terendah menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera bertindak. Meski krisis belum pasti terjadi, kombinasi faktor domestik dan global menuntut kebijakan yang cepat, tepat, dan kredibel. Tanpa langkah konkret, ruang fiskal yang “compang-camping” bisa menjadi pemicu masalah yang lebih besar.
Masyarakat dan pelaku ekonomi kini menanti respons pemerintah untuk menentukan arah masa depan ekonomi Indonesia.