245 total views
INN NEWS – Kebebasan pers seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi, memungkinkan jurnalis bekerja tanpa takut akan ancaman atau kekerasan.
Namun, di Indonesia, realitas berkata lain. Sejumlah kasus pembunuhan dan intimidasi terhadap jurnalis masih terjadi, mencerminkan betapa rentannya profesi ini.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga ancaman bagi kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur serta transparan.
Artikel ini akan mengulas lima kasus pembunuhan dan intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia. Dari pesan teror hingga kekerasan fisik yang berujung kematian, kisah-kisah ini mencerminkan bagaimana ancaman terhadap pers masih menjadi masalah serius.
Juwita – 22 Maret 2025
Kasus Juwita, seorang jurnalis muda di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mencuri perhatian nasional setelah ia ditemukan tewas pada 22 Maret 2025.
Dugaan keterlibatan seorang anggota TNI AL berinisial J menjadi pusat investigasi, dengan indikasi kuat bahwa pembunuhan ini telah direncanakan sebelumnya. Tragedi ini memicu gelombang tuntutan keadilan dan transparansi dari keluarga korban, komunitas pers, serta masyarakat luas.
Fuad Muhammad Syafruddin – 16 Agustus 1996
Kasus Udin, atau Fuad Muhammad Syafruddin, adalah tragedi yang mengguncang dunia pers Indonesia. Udin, seorang jurnalis harian Bernas di Yogyakarta, ditemukan tewas pada 16 Agustus 1996 setelah mengalami penganiayaan berat oleh orang tak dikenal.
Sebelum kematiannya, Udin dikenal karena tulisannya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer, termasuk laporan tentang korupsi pejabat daerah. Meskipun kasus ini menarik perhatian luas, hingga kini pelaku sebenarnya belum terungkap.
Rico Sempurna Pasaribu – 27 Juni 2024
Kasus Rico Sempurna Pasaribu, seorang wartawan Tribrata TV di Kabupaten Karo, Sumatra Utara, menunjukkan ancaman serius terhadap kebebasan pers. Pada 27 Juni 2024, rumah Rico dibakar oleh pihak yang tidak diketahui, dengan indikasi kuat bahwa tindakan ini adalah bentuk intimidasi terkait pekerjaannya sebagai jurnalis.
Kasus ini menambah daftar panjang intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia, menyoroti risiko yang dihadapi mereka dalam menyampaikan kebenaran kepada publik. Hingga saat ini, belum ada pelaku yang berhasil diidentifikasi atau diadili.
Francisca Christy Rosana – Maret 2025
Francisca Christy Rosana, seorang jurnalis politik senior dari Tempo, menjadi target intimidasi serius pada Maret 2025. Ia menerima paket berisi kepala babi yang masih berlumuran darah, yang diduga merupakan bentuk ancaman terhadap karya jurnalistiknya.
Teror ini terjadi di tengah tugasnya meliput isu-isu politik sensitif, termasuk melalui podcast “Bocor Alus Politik” yang ia pandu.
Kasus ini memicu kecaman luas dari berbagai pihak, termasuk aktivis hukum, yang menilai tindakan tersebut sebagai ancaman terhadap kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Hingga kini, pelaku di balik teror ini belum terungkap.
Muhammad Yusuf – Juni 2018
Muhammad Yusuf, seorang jurnalis di Kalimantan Selatan, meninggal dunia saat berada dalam tahanan pada Juni 2018.
Ia ditahan atas tuduhan pencemaran nama baik setelah menulis artikel yang mengkritik perusahaan sawit PT Multi Sarana Agro Mandiri terkait dugaan kepemilikan tanah ilegal.
Yusuf ditahan selama lebih dari lima minggu sebelum akhirnya meninggal, dengan penyebab resmi yang disebut sebagai komplikasi pernapasan dan nyeri dada.
Namun, keluarganya menduga kematiannya disebabkan oleh kelalaian medis selama dalam tahanan.