165 total views
JAKARTA – Merujuk data Refinitiv, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa (08/04/2025) dibuka pada posisi Rp16.850 per dolar AS, menunjukkan pelemahan sebesar 1,78%.
Depresiasi ini berbanding terbalik dengan penutupan perdagangan terakhir pada 27 Maret 2025, di mana rupiah menguat tipis sebesar 0,12%.
Pelemahan ini menjadi sorotan di tengah gejolak ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) justru tercatat melemah sebesar 0,21%, berada pada level 103,04.
Penurunan indeks dolar ini menunjukkan bahwa tekanan pada rupiah lebih didorong oleh faktor eksternal spesifik terhadap Indonesia ketimbang penguatan dolar secara keseluruhan.
Kebijakan Tarif Trump dan Ketidakpastian Global
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Donald Trump menjadi pemicu utama ketidakpastian di pasar keuangan global.
Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang AS, kini menjadi korban baru dalam eskalasi perang dagang ini. Trump memberlakukan tarif sebesar 32% terhadap barang-barang asal Indonesia, sebagai respons atas defisit perdagangan AS yang signifikan dengan Indonesia.
Baca juga:
IHSG Dibuka Turun 9,19%, BEI Langsung Berlakukan Trading Halt
Langkah ini tidak hanya memengaruhi daya saing ekspor Indonesia di pasar AS, tetapi juga memicu kekhawatiran akan dampak domino pada stabilitas ekonomi domestik.
Kebijakan proteksionisme Trump ini telah memicu reaksi berantai, termasuk potensi perang dagang yang lebih luas antarnegara. Ketidakpastian global yang meningkat diperkirakan akan memberikan tekanan besar pada rupiah.
Analis memprediksi bahwa dampaknya akan terasa mulai dari kaburnya investor asing dari pasar keuangan Indonesia hingga gejolak eksternal yang tinggi, seperti volatilitas harga komoditas dan arus modal keluar.
Dampak pada Rupiah dan Ekonomi Indonesia
Pelemahan rupiah sebesar 1,78% pada pembukaan perdagangan hari ini mencerminkan sentimen negatif pasar terhadap kebijakan tarif AS.
Indonesia, yang mengandalkan ekspor seperti tekstil, elektronik, dan komoditas pertanian ke AS, berisiko mengalami penurunan permintaan akibat tarif tinggi tersebut. Hal ini dapat memperburuk neraca perdagangan dan menekan cadangan devisa negara.
Selain itu, pelarian investor asing dari pasar saham dan obligasi Indonesia diperkirakan akan memperparah depresiasi rupiah.
Gejolak eksternal, seperti kenaikan harga barang impor dan potensi inflasi, juga menjadi ancaman nyata bagi daya beli masyarakat.
Jika tidak dikelola dengan baik, situasi ini bisa memicu ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas.
Tantangan ke Depan
Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia (BI) kini menghadapi tantangan besar untuk menjaga stabilitas rupiah. Langkah intervensi di pasar valuta asing dan kebijakan moneter yang adaptif menjadi krusial untuk meredam tekanan.
Di sisi lain, diversifikasi pasar ekspor dan penguatan fundamental ekonomi domestik dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Dengan kebijakan tarif Trump yang mulai berlaku secara bertahap sejak 5 April 2025, dan tarif khusus untuk Indonesia efektif per 9 April 2025, tekanan pada rupiah diperkirakan akan terus berlanjut dalam waktu dekat.
Pasar kini menanti respons strategis dari pemerintah untuk memitigasi dampak buruk ini, sambil berharap ketegangan perdagangan global tidak semakin memburuk.