503 total views
JAKARTA – Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengutus mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu perwakilan Indonesia untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada 26 April 2025 menuai polemik.
Selain Jokowi, Prabowo juga mengutus Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan Menteri HAM Natalius Pigai. Keputusan ini memicu kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama karena Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara.
Jokowi Bukan Pejabat Negara, Mengapa Diutus?
Secara protokoler, utusan negara untuk acara kenegaraan seperti pemakaman kepala negara biasanya adalah pejabat aktif, seperti presiden, wakil presiden, atau menteri luar negeri.
Jokowi, sebagai mantan presiden, tidak lagi memiliki kapasitas resmi untuk mewakili negara.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Arif Zulkifli, menyebut keputusan ini sebagai “langkah yang tidak lazim dan berpotensi menimbulkan persepsi politisasi”.
Menurutnya, pengutusan Jokowi bisa dianggap sebagai upaya Prabowo untuk mempertahankan pengaruh politik Jokowi, yang masih memiliki basis pendukung kuat, di panggung internasional.
“Pemakaman Paus adalah acara kenegaraan yang sarat makna diplomatik. Mengutus mantan presiden, apalagi tanpa jabatan resmi, tidak sesuai dengan etiket diplomasi. Ini bisa membingungkan Vatikan dan negara lain yang hadir,” ujar Arif.
Ia juga mempertanyakan mengapa Prabowo tidak mengutus pejabat aktif seperti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka atau Menteri Luar Negeri Sugiono, yang lebih relevan secara protokoler.
Tanggapan Pedas Warganet
Di media sosial, terutama platform X, keputusan ini memicu reaksi keras dari warganet. Sejumlah unggahan menyoroti ketidakpatutan pengutusan Jokowi.
Salah satu pengguna dengan akun @BiruBir26073179 menulis, “Pak @prabowo, Jokowi sudah barang bekas. Ngapain dia yang mewakili pemakaman Paus Fransiskus? Ini bentuk tidak menghargai Paus!”
Pengguna lain, @maskoes911, menyindir dengan nada pedas, “Jokowi diberi utusan oleh Prabowo untuk pemakaman Paus. Ini mengelola negara atau proyek konstruksi dengan Joint Operations? Sungguh memalukan!”
Ada pula spekulasi konspiratif, seperti yang diungkapkan @Loveinloveyz, yang menyebut pengutusan Jokowi sebagai upaya melindungi Jokowi dari sidang gugatan terkait mobil SMK dan isu ijazah palsu di Pengadilan Solo pada 24 April 2025.
Namun, tidak semua warganet bereaksi negatif. Sebagian pendukung Jokowi dan Prabowo membela keputusan ini, menyebut Jokowi sebagai figur yang masih dihormati dunia internasional.
“Jokowi pernah bertemu Paus Fransiskus di Jakarta tahun lalu. Wajar kalau dia diutus karena punya hubungan personal,” tulis akun @IndonesiaJaya12
Komentar Pengamat: Politicking atau Penghormatan?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Riza Noer Arfani, menilai langkah ini lebih bersifat politis ketimbang diplomatik.
“Prabowo sepertinya ingin menunjukkan harmoni dengan Jokowi di tengah isu ‘matahari kembar’ dalam pemerintahannya. Ini sinyal bahwa Jokowi masih punya peran simbolis, meski tanpa jabatan,” katanya.
Ia juga mencatat bahwa pengutusan tokoh seperti Ignasius Jonan, yang pernah menjadi ketua panitia penyambutan Paus di Indonesia, masih bisa diterima karena relevansinya, tetapi Jokowi “jelas di luar konteks protokoler”.
Di sisi lain, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membela keputusan ini, menyatakan bahwa utusan-utusan tersebut dipilih untuk mewakili bangsa dan menyampaikan belasungkawa atas nama Indonesia.
“Kami berharap utusan ini dapat menyampaikan simpati dan belasungkawa bangsa Indonesia,” ujarnya. Namun, pernyataan ini tidak meredam kritik, terutama karena alasan ketidakhadiran Prabowo sendiri tidak dijelaskan secara rinci, hanya disebutkan karena “sesuatu dan lain hal”.
Patut atau Tidak Patut?
Keputusan Prabowo mengutus Jokowi ke pemakaman Paus Fransiskus jelas tidak patut jika dilihat dari sudut pandang protokoler dan etiket diplomasi. Jokowi, sebagai warga sipil tanpa jabatan resmi, tidak memiliki legitimasi untuk mewakili negara dalam acara kenegaraan.
Langkah ini juga berpotensi memperkuat persepsi bahwa Prabowo masih bergantung pada pengaruh Jokowi, yang dapat melemahkan otoritasnya sebagai presiden.
Di sisi lain, bagi pendukung Jokowi, pengutusan ini bisa dilihat sebagai penghormatan atas hubungan baik Jokowi dengan Paus Fransiskus selama kunjungan apostolik ke Indonesia pada September 2024.
Namun, di tengah konteks politik dalam negeri yang sensitif, keputusan ini lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Indonesia memiliki banyak pejabat aktif yang lebih relevan untuk misi ini, dan pengabaian protokoler hanya akan memicu spekulasi dan kritik yang tidak perlu. Seperti yang diungkapkan seorang warganet, “Negara ini bukan perusahaan swasta yang bisa seenaknya atur utusan.”
Pengutusan Jokowi ke pemakaman Paus Fransiskus adalah langkah yang kontroversial dan tidak patut secara diplomatik.
Meskipun ada argumen bahwa Jokowi memiliki hubungan personal dengan Paus, hal ini tidak cukup untuk membenarkan pelanggaran protokoler. Prabowo perlu lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang dapat memicu persepsi politisasi, terutama di tengah sorotan publik terhadap dinamika pemerintahannya.
Bagi Indonesia, menjaga martabat diplomasi harus menjadi prioritas, bukan malah menjadi bahan cemoohan di media sosial.