1,052 total views
INN NEWS – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menghadapi gelombang kontroversi setelah sekelompok purnawirawan TNI mengeluarkan desakan pemakzulannya dari jabatan wakil presiden.
Desakan ini yang dianggap sebagai salah satu tantangan politik terbesar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, memicu perdebatan sengit di kalangan pengamat, tokoh politik, dan masyarakat.
Fakta-Fakta Kuat Potensi Pemakzulan Gibran
Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2023
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyoroti bahwa desakan pemakzulan Gibran berakar dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia minimum calon presiden dan wakil presiden.
Putusan ini memungkinkan Gibran, yang saat itu berusia 36 tahun, untuk maju sebagai calon wakil presiden. Herdiansyah menyebut putusan tersebut sebagai “pelanggaran etik berat” karena keterlibatan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga paman Gibran.
“Ada conflict of interest yang nyata, dan ini menjadi luka konstitusional yang memicu distrust publik,” ujarnya. Pelanggaran ini dianggap sebagai dasar kuat untuk mempertanyakan legitimasi pencalonan Gibran.
Desakan dari Purnawirawan TNI
Forum Purnawirawan Prajurit TNI, yang terdiri dari 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel, secara terbuka mendesak MPR untuk memakzulkan Gibran.
Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi menyatakan bahwa pencalonan Gibran “melanggar hukum dan etika politik,” yang berpotensi menciptakan krisis kepercayaan terhadap institusi negara.
Dukungan dari tokoh-tokoh militer berpengaruh ini memberikan tekanan politik signifikan, terutama karena purnawirawan TNI memiliki pengaruh kuat di kalangan konservatif dan nasionalis.
Dugaan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Proses Pemilu
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, mengungkapkan bahwa desakan pemakzulan juga didorong oleh dugaan penyalahgunaan kekuasaan selama Pilpres 2024.
“Ada laporan dari masyarakat sipil tentang distribusi bansos yang tidak netral, yang dianggap menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran,” katanya.
Meskipun MK telah menolak gugatan hasil Pilpres, laporan tersebut tetap menjadi amunisi bagi pihak yang mendesak pemakzulan, dengan alasan Gibran sebagai bagian dari pasangan calon yang diuntungkan.
Pandangan Tokoh Politik
Meskipun PDI Perjuangan (PDI-P) bersikap hati-hati, beberapa tokoh oposisi seperti anggota DPR dari Fraksi PKS, Abdul Muhaimin, menyebut pemakzulan Gibran sebagai “langkah konstitusional yang mungkin” jika terbukti ada pelanggaran berat.
Muhaimin merujuk pada Pasal 7A UUD 1945, yang menyebutkan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan tercela.
“Jika ada bukti kuat soal pelanggaran etik dalam pencalonannya, ini bisa menjadi dasar,” tegasnya.
Preseden Hukum dan Tekanan Politik
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, menyebutkan bahwa meskipun pemakzulan wakil presiden secara terpisah dari presiden tidak memiliki preseden di Indonesia, tekanan politik yang kuat dari kelompok masyarakat sipil dan purnawirawan bisa mendorong MPR untuk membahasnya.
“Jika desakan ini mendapat dukungan mayoritas fraksi di DPR dan MPR, wacana ini bisa bergulir, meski butuh proses panjang,” ungkap Karyono.
Respons Publik terhadap Desakan Pemakzulan
Respons publik terhadap desakan pemakzulan Gibran tampak terpolarisasi, sebagaimana terlihat dari diskusi di media sosial dan unggahan di platform.
Dukungan dari Kelompok Kritis
Sejumlah unggahan di X menunjukkan dukungan terhadap desakan pemakzulan. Salah satu akun dengan ribuan pengikut menulis, “Purnawirawan TNI sudah berani bersuara, ini bukti Gibran tidak layak jadi wapres. MK sudah dipermainkan!”
Unggahan serupa juga menyebut bahwa pemakzulan Gibran adalah “upaya menyelamatkan demokrasi.” Diskusi ini mendapat banyak dukungan dari netizen yang merasa proses pencalonan Gibran penuh dengan manipulasi politik.
Penolakan dari Pendukung Prabowo-Gibran
Di sisi lain, pendukung Gibran dan Prabowo mengecam desakan ini sebagai “upaya destabilisasi.”
Sebuah unggahan di X yang viral menyatakan, “Gibran dipilih 96 juta rakyat, kalian yang 100 orang purnawirawan mau lawan suara rakyat?”
Pendukung juga menyoroti bahwa Gibran belum terbukti melakukan pelanggaran hukum selama menjabat, sehingga desakan ini dianggap tidak berdasar.
Kontroversi Konten Digital Gibran
Publik juga menyoroti penampilan Gibran di ruang digital. Video monolognya di YouTube tentang bonus demografi 2030, yang sempat mendapat lebih dari 108.000 dislike, menjadi bahan perbincangan.
Meskipun jumlah like melonjak dalam beberapa hari, banyak netizen mempertanyakan kredibilitasnya sebagai wakil presiden. Komentar seperti “Gibran cuma baca skrip, tak ada substansi” mencerminkan ketidakpuasan sebagian publik.
Aksi di Dunia Nyata
Selain di media sosial, sejumlah kelompok masyarakat sipil menggelar aksi kecil-kecilan di Jakarta dan Yogyakarta untuk mendukung pemakzulan.
Namun, aksi ini belum meluas secara nasional, menunjukkan bahwa desakan ini masih terbatas pada kelompok tertentu. Sebaliknya, tidak ada laporan aksi besar dari pendukung Gibran, yang kemungkinan menganggap isu ini tidak signifikan.


