1,831 total views
INN INTERNASIONAL – Perang antara Iran dan Israel yang meletus pada 13 Juni 2025 telah mengguncang Timur Tengah dan menempatkan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dalam posisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Konflik yang diawali oleh serangan udara Israel melalui Operasi Rising Lion, menargetkan fasilitas nuklir dan militer Iran, memaksa Khamenei untuk bersembunyi di bunker rahasia demi menyelamatkan nyawanya.
Langkah ini, meski strategis, justru memicu spekulasi bahwa pengaruhnya sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam Iran mulai menurun.
Awal Konflik dan Persembunyian Khamenei
Konflik Iran-Israel mencapai puncaknya ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap fasilitas nuklir seperti Natanz, Isfahan, dan Fordow, serta menewaskan sejumlah komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dan ilmuwan nuklir Iran.
Sebagai respons, Iran melancarkan Operasi True Promise III, meluncurkan lebih dari 1.000 proyektil, termasuk rudal balistik dan drone, ke kota-kota strategis Israel seperti Tel Aviv dan Yerusalem.
Namun, serangan balasan Iran dilaporkan mulai melemah, mengindikasikan dampak signifikan dari serangan Israel terhadap kemampuan militer Iran.
Di tengah eskalasi ini, Khamenei, yang berusia 86 tahun, dilaporkan bersembunyi di sebuah bunker rahasia di Lavizan, Teheran, bersama keluarganya. Untuk menghindari pelacakan oleh intelijen Israel, ia menangguhkan komunikasi elektronik dan hanya berinteraksi melalui ajudan terpercaya.
Kementerian Intelijen Iran juga memberlakukan larangan penggunaan telepon atau perangkat elektronik bagi pejabat senior, mencerminkan kekhawatiran atas infiltrasi Israel.
Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman terhadap nyawa Khamenei, terutama setelah Israel secara terbuka menyatakan niat untuk menargetkannya.
Pengaruh Khamenei yang Mulai Goyah
Perang ini tidak hanya melemahkan infrastruktur militer Iran, tetapi juga mengguncang struktur kekuasaan di dalam negeri.
Dengan banyaknya komandan senior IRGC yang tewas, termasuk Hossein Salami, serta kerusakan fasilitas nuklir yang telah menghabiskan miliaran dolar, Iran menghadapi kemunduran signifikan.
Militerisasi yang selama ini menjadi pilar kekuatan rezim telah membuat ekonomi Iran terpuruk akibat sanksi internasional, dan kini kerusakan akibat perang semakin memperparah situasi.
Khamenei, yang selama lebih dari tiga dekade memimpin dengan otoritas mutlak, kini menghadapi tantangan internal. Masyarakat Iran mulai mempertanyakan kepemimpinannya, terutama karena obsesinya untuk menghancurkan Israel dan mengejar status nuklir, yang dianggap tidak sejalan dengan kebutuhan rakyat.
Profesor Lina Khatib dari Universitas Harvard menyatakan, “Sulit untuk memperkirakan berapa lama lagi rezim Iran dapat bertahan di bawah tekanan yang begitu signifikan, tetapi ini terlihat seperti permulaan dari berakhirnya rezim.”
Laporan dari The Economist juga menyebutkan bahwa kelompok ulama moderat dan elit politik Iran mulai mendesak gencatan senjata, bahkan mempertimbangkan untuk mengesampingkan Khamenei jika ia menolak.
Gencatan Senjata dan Tantangan ke Depan
Pada 24 Juni 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan gencatan senjata sepihak yang dimediasi bersama Emir Qatar.
Meski demikian, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak menutup kemungkinan untuk tetap menargetkan Khamenei, meskipun Trump dilaporkan menolak rencana pembunuhan tersebut.
Ketika Khamenei akhirnya muncul kembali pada 26 Juni 2025 untuk menyampaikan pidato pertamanya pasca-gencatan senjata, ia berusaha memproklamasikan kemenangan Iran atas “rezim Zionis.” Namun, klaim ini bertolak belakang dengan realitas kehancuran infrastruktur militer dan krisis ekonomi yang membayangi Iran.
Pidato Khamenei, yang disampaikan di depan latar polos, mencerminkan upaya untuk mempertahankan citra kekuatan di tengah tekanan. Ia menegaskan bahwa serangan rudal Iran telah “menampar wajah Amerika” dan bahwa Republik Islam telah menang.
Namun, laporan menunjukkan bahwa serangan Iran ke pangkalan AS di Qatar tidak menimbulkan korban, melemahkan narasi kemenangan tersebut. Sementara itu, stok uranium Iran yang telah dipindahkan ke lokasi rahasia tetap menjadi ancaman, dengan potensi untuk menghasilkan sembilan bom nuklir jika diperkaya hingga 90%.
Dampak Geopolitik dan Masa Depan Rezim
Perang ini telah mengubah dinamika geopolitik di Timur Tengah.
Israel, dengan dukungan intelijen dan senjata canggih dari AS, berhasil menguasai ruang udara Iran, meskipun tidak mampu sepenuhnya menghancurkan program nuklir Iran tanpa bom penghancur bunker AS.


