HomeHeadlineJelang Serangan Israel, Mesir Kerahkan 40 Ribu Pasukan Tolak Pengungsi Gaza yang...

Jelang Serangan Israel, Mesir Kerahkan 40 Ribu Pasukan Tolak Pengungsi Gaza yang Bisa Ganggu Stabilitas Nasional

Published on

spot_img

 511 total views

INN INTERNASIONAL – Mesir meningkatkan kewaspadaan di perbatasan Gaza dengan mengerahkan sekitar 40.000 tentara di wilayah Sinai Utara, termasuk di Zona C yang berbatasan langsung dengan Jalur Gaza.

Langkah ini diambil di tengah kekhawatiran akan rencana Israel untuk melancarkan operasi militer besar-besaran di Rafah, kota paling selatan Gaza, yang dapat memicu eksodus massal warga Palestina ke wilayah Mesir.

Pengerahan pasukan ini, yang nyaris dua kali lipat dari jumlah yang diizinkan berdasarkan Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979, melibatkan kendaraan lapis baja, sistem pertahanan udara, pasukan khusus, dan tank tempur M60 yang ditempatkan di kota-kota strategis seperti Rafah, Sheikh Zuweid, dan desa Al-Joura.

Menurut sumber militer senior, langkah ini merupakan perintah langsung dari Presiden Abdel Fattah el-Sisi setelah rapat dengan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Dewan Keamanan Nasional.

Mesir telah menyampaikan pemberitahuan resmi kepada Israel terkait mobilisasi ini, meskipun Tel Aviv menyampaikan keberatan atas jumlah pasukan dan penempatannya di zona terlarang.

Gubernur Sinai Utara, Khaled Megawer, mantan kepala intelijen militer, mengeluarkan peringatan keras dari perbatasan Rafah: “Siapa pun yang mencoba mendekati perbatasan kami akan menghadapi respons yang tak terduga dan tegas.”

Pernyataan ini mencerminkan sikap defensif Mesir, yang menegaskan bahwa pengerahan pasukan bertujuan untuk mengamankan perbatasan di tengah eskalasi ketegangan, sekaligus menolak skenario pemindahan warga Palestina ke Sinai.

Latar Belakang Ketegangan

Kekhawatiran Mesir dipicu oleh rencana Israel untuk mengintensifkan operasi militer di Rafah, yang dianggap sebagai benteng terakhir Hamas.

Sejak konflik Israel-Hamas meletus pada 7 Oktober 2023, Rafah telah menjadi tempat perlindungan bagi lebih dari 1,5 juta warga Palestina yang mengungsi dari wilayah utara dan tengah Gaza.

Kota ini juga merupakan jalur utama untuk bantuan kemanusiaan melalui perbatasan Rafah, satu-satunya akses Gaza ke dunia luar yang tidak dikendalikan Israel.

Namun, serangan udara Israel yang dimulai sejak Februari 2024 telah menewaskan ratusan warga sipil di Rafah, dengan laporan terbaru menyebutkan 330 warga Palestina tewas dalam serangan besar-besaran pada Maret 2025.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras bahwa operasi di Rafah diperlukan untuk menghancurkan batalion-batalion Hamas yang tersisa, meskipun langkah ini menuai kecaman internasional, termasuk dari sekutu dekat Israel seperti Amerika Serikat, yang memperingatkan potensi bencana kemanusiaan.

Sikap Tegas Mesir

Mesir menegaskan bahwa pengerahan pasukan ini bersifat defensif, bertujuan untuk mencegah potensi krisis pengungsian massal yang dapat mengganggu stabilitas nasional.

Kairo secara konsisten menolak gagasan bahwa Sinai Utara dapat menjadi tempat relokasi warga Palestina, sebuah ide yang telah muncul berulang kali selama beberapa dekade.

Pada April 2025, anggota parlemen dan pemimpin suku di El-Arish menegaskan bahwa Sinai tidak akan menjadi “tanah air alternatif” bagi warga Palestina, menekankan dukungan mereka terhadap Gaza tanpa mengorbankan kedaulatan Mesir.

“Mesir tidak akan membiarkan wilayahnya menjadi korban krisis Gaza. Setiap upaya untuk memindahkan warga Palestina ke Sinai akan dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional,” ujar seorang analis politik kepada Middle East Eye.

Respons Internasional

Komunitas internasional terus menyuarakan kekhawatiran atas eskalasi di Rafah. Afrika Selatan, dalam gugatannya di Mahkamah Internasional (ICJ), menuduh Israel melakukan genosida di Gaza dan mendesak penghentian serangan di Rafah, yang disebut sebagai “perlindungan terakhir” bagi warga Gaza.

PBB juga melaporkan bahwa sejak Mei 2024, lebih dari 945.000 warga Rafah telah mengungsi, banyak di antaranya berjalan kaki melintasi medan perang yang berbahaya.

Sementara itu, upaya gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat terus menemui jalan buntu.

Mesir tetap berupaya menjaga perbatasan Rafah sebagai jalur bantuan kemanusiaan, meskipun serangan Israel telah mempersulit distribusi bantuan, dengan hanya 906 truk bantuan yang berhasil masuk ke Gaza sejak operasi Rafah dimulai pada Mei 2024.

Hari-Hari Kritis ke DepanPengerahan 40.000 pasukan Mesir di Sinai Utara menandakan bahwa Kairo bersiap menghadapi skenario terburuk, termasuk potensi konfrontasi jika Israel melanggar kedaulatan Mesir.

Dengan ketegangan yang terus meningkat, dunia kini memandang Rafah sebagai titik kritis yang dapat menentukan arah konflik Israel-Palestina.

Mesir, dengan sikap tegasnya, berupaya memastikan bahwa krisis kemanusiaan di Gaza tidak meluas ke wilayahnya, sambil tetap menjaga stabilitas regional di tengah situasi yang kian genting.

Hari-hari mendatang akan menjadi ujian bagi kapasitas diplomatik dan militer Mesir dalam mengelola krisis ini tanpa mengorbankan kepentingan nasionalnya.

Sementara itu, jutaan warga Palestina di Rafah terus hidup dalam ketidakpastian, terjepit antara ancaman serangan Israel dan keteguhan Mesir untuk menjaga perbatasannya.

Artikel Terbaru

InFest 2025: Melatih Generasi Pencipta Teknologi, Bukan Sekadar Pengguna

Dunia sedang berubah cepat, dan Indonesia tak boleh tertinggal. Di tengah derasnya arus teknologi dan kecerdasan buatan (AI), Sekolah Programming Indonesia (SPI) bersama Imadeo Learning Center dan Eco Village menghadirkan InFest (Innovation Festival), sebuah ajang kompetisi dan pameran inovasi yang bertujuan menumbuhkan pola pikir kreatif dan kolaboratif di kalangan generasi muda.

Trump Gaza Plan: Antara Tuduhan Kolonialisme dan Jalan Keluar Gaza

Di abad ke-21, kata “kolonialisme” masih terus digunakan sebagai senjata retoris. Setiap intervensi Barat...

Regionalisme sebagai Penahan Benturan Globalisme dan Nasionalisme

Dunia sedang bergerak menuju era multipolar yang kompleks. Jika pada masa Perang Dingin peta...

Ortu SD Muhammadiyah 1 Ketelan Solo Lebih Pilih Dapur Sehat Rp10 Ribu daripada MBG Gratis

Solo, innindonesia.com – Di tengah gencarnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat, sekelompok orang tua siswa di SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo, Jawa Tengah, justru memilih opsi mandiri. 

artikel yang mirip

InFest 2025: Melatih Generasi Pencipta Teknologi, Bukan Sekadar Pengguna

Dunia sedang berubah cepat, dan Indonesia tak boleh tertinggal. Di tengah derasnya arus teknologi dan kecerdasan buatan (AI), Sekolah Programming Indonesia (SPI) bersama Imadeo Learning Center dan Eco Village menghadirkan InFest (Innovation Festival), sebuah ajang kompetisi dan pameran inovasi yang bertujuan menumbuhkan pola pikir kreatif dan kolaboratif di kalangan generasi muda.

Trump Gaza Plan: Antara Tuduhan Kolonialisme dan Jalan Keluar Gaza

Di abad ke-21, kata “kolonialisme” masih terus digunakan sebagai senjata retoris. Setiap intervensi Barat...

Regionalisme sebagai Penahan Benturan Globalisme dan Nasionalisme

Dunia sedang bergerak menuju era multipolar yang kompleks. Jika pada masa Perang Dingin peta...