312 total views
INN INTERNASIONAL – Pemerintah Lebanon mengambil keputusan bersejarah untuk melucuti senjata kelompok Hizbullah sebelum akhir 2025. Keputusan ini dipimpin Presiden Joseph Aoun dan Perdana Menteri Nawaf Salam setelah sidang kabinet yang alot pada 7 Agustus lalu.
Langkah tersebut dianggap sebagai upaya strategis mengembalikan kedaulatan negara dan memperkuat otoritas lembaga resmi, khususnya Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF), sebagaimana dilaporkan Associated Press.
Israel segera menyambut baik langkah ini. Dalam pernyataan resmi, Kantor Perdana Menteri menyebut keputusan Lebanon sebagai “momentum bersejarah” dan membuka peluang stabilitas kawasan.
Israel menyatakan siap mengambil langkah timbal balik berupa pengurangan bertahap kehadiran militer di perbatasan, dengan syarat pelucutan Hizbullah benar-benar dijalankan.
Pernyataan tersebut dikonfirmasi pula dalam laporan Reuters dan Times of India.
Meski dipandang sebagai kemajuan, keputusan ini langsung memicu perlawanan dari dalam negeri. Beberapa menteri yang berafiliasi dengan Hizbullah dan Amal memilih keluar dari ruang sidang kabinet sebagai bentuk protes.
Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem, menyebut pelucutan senjata sebagai “pengkhianatan” dan menegaskan kelompoknya tak akan menyerahkan senjata selama Israel masih melakukan serangan udara dan menduduki wilayah perbatasan.
Qassem bahkan memperingatkan bahwa “jika dipaksakan, maka kehidupan Lebanon sendiri yang akan terancam.” Pernyataan keras ini diberitakan oleh France24 dan The National.
Di lapangan, militer Lebanon sudah mulai bergerak. Beberapa gudang senjata di selatan berhasil disita, sebagian dengan bantuan informasi intelijen yang disalurkan lewat mekanisme koordinasi dengan Amerika Serikat.
Menurut laporan Wall Street Journal, sekitar 80 persen target pelucutan di selatan Sungai Litani sudah dicapai pada pertengahan tahun ini.
The Washington Post menambahkan, meski ada kemajuan, keterbatasan kapasitas, krisis ekonomi, dan risiko gesekan sektarian membuat implementasi penuh masih menjadi tantangan berat.
Di tingkat regional, Amerika Serikat menegaskan dukungannya atas langkah pemerintah Lebanon. Utusan khusus AS menekankan bahwa Israel juga perlu menepati komitmen pengurangan pasukan secara bertahap, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera.
Sebaliknya, Iran mengecam keras rencana tersebut. Ali Akbar Velayati, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, menyebutnya sebagai “mimpi AS dan Israel yang tak akan pernah terwujud,” menurut laporan Jewish News Syndicate.
Kini Lebanon berada di persimpangan jalan. Jika langkah ini berhasil, negara itu akan benar-benar menguasai monopoli penggunaan senjata dan membuka peluang stabilitas baru di kawasan.
Namun jika gagal, Lebanon berisiko kembali terseret ke dalam lingkaran ketidakstabilan yang selama ini terus membayangi.
Oleh : Tim Imadeo Riset


