334 total views
JAKARTA – Polemik penyalahgunaan fasilitas negara kembali menyeruak, kali ini di jantung demokrasi kampus.
Nama Pradana, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, terseret dalam dugaan manipulasi administratif pada Pemilihan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) periode 2025–2028.
Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam UI Peduli Demokrasi melayangkan somasi terbuka dan laporan resmi ke kanal pengaduan Lapor.go.id pada Senin, 18 Agustus 2025.
Isi laporan itu mencatat dugaan serius: penggunaan lebih dari 6.000 Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) sebagai instrumen mobilisasi suara.
Sebagai staf khusus, Pradana menempati posisi strategis di lingkaran kementerian yang seharusnya mengurusi percepatan penyelesaian isu-isu energi dan sumber daya mineral.
Namun, mahasiswa menuding, alih-alih menjalankan tugas negara, Pradana justru membawa atribut jabatannya untuk kepentingan politik alumni.
“Ini penyalahgunaan yang terang benderang. Jabatan publik dipakai sebagai modal mobilisasi, sementara kampus dijadikan arena politik,” kata Rendra, juru bicara UI Peduli Demokrasi dalam keterangannya diterima INN Indonesia, Kamis (21/8/2025).
Dalam dokumen somasi, mahasiswa menekankan bahwa tindakan tersebut melanggar aturan kampanye ILUNI UI, khususnya larangan menggunakan fasilitas institusi dan data administratif untuk kepentingan politik.
Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto dan panitia pemilihan untuk bertindak cepat.
Nama Pradana tak bisa dilepaskan dari patronnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Bahlil sendiri sebelumnya menuai kontroversi akademik di UI. Pada 2024, disertasinya di Program Pascasarjana UI diduga mengandung plagiarisme serius.
Sejumlah analisis menemukan kesamaan mencolok dengan literatur lain tanpa atribusi memadai.
Kala itu, mahasiswa mendesak UI bertindak tegas demi menjaga integritas akademik. Namun, isu itu menguap tanpa sanksi jelas, menimbulkan kesan kompromi politik.
Kini, dengan kasus Pradana, mahasiswa melihat pola berulang: relasi patron-klien yang memanfaatkan kampus bukan sebagai ruang intelektual, melainkan alat legitimasi kekuasaan.
“Bahlil punya catatan disertasi bermasalah, stafsusnya kini diduga menyalahgunakan data ribuan NPM. Polanya sama: akademik dijadikan perisai kepentingan politik,” ujar Rendra .
Mahasiswa menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar soal pemilihan alumni. Lebih jauh, ini adalah ujian terhadap integritas demokrasi di ruang akademik.
Diamnya aparat, kata mereka, hanya akan membuka ruang bagi elite bermasalah untuk mencuci nama melalui panggung kampus.
Somasi yang dilayangkan juga menyinggung potensi pelanggaran etik pejabat publik. Posisi staf khusus melekat dengan kewajiban menjaga integritas jabatan negara.
Dugaan penyalahgunaan data administratif ribuan mahasiswa bukan hanya masalah kampus, tetapi berimplikasi pada hukum dan tata kelola pemerintahan.
“Jika negara tutup mata, preseden buruk ini akan terus berulang. Demokrasi kampus yang dikorbankan hari ini bisa menjadi cermin rapuhnya demokrasi nasional di masa depan,” bunyi pernyataan sikap mahasiswa.