432 total views
INN NEWS – Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025 di Istana Kepresidenan Jakarta bukan sekadar acara formal untuk meresmikan lembaga baru.
Kehadiran dua mantan presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mendampingi Presiden Prabowo Subianto, menimbulkan tafsir politik yang kaya.
Apakah ini murni simbol persatuan nasional, atau ada agenda terselubung di baliknya? Dalam sebuah panggung yang sarat makna, kehadiran keduanya tak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan, legitimasi, dan strategi politik jangka panjang.
Simbol Legitimasi dan Konsolidasi Kekuatan
Kehadiran Jokowi dan SBY di acara tersebut langsung mencuri perhatian.
Prabowo, yang baru menjabat, tampak sengaja mengundang para pendahulunya untuk menegaskan bahwa Danantara—lembaga yang akan mengelola aset lebih dari Rp14.000 triliun—bukan proyek ambisi pribadi, melainkan agenda negara yang mendapat restu lintas generasi kepemimpinan.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menangkap sinyal ini dengan tajam. Ia berkata, “Secara institusional, lembaga kepresidenan yang dipimpin Pak Prabowo ini ingin memastikan dukungan solid dari elite, khususnya para eks presiden.”
Baca juga:
Tak Pas Danantara Diluncurkan di Situasi Bangsa yang Tak Kondusif
Menurutnya, ini adalah upaya Prabowo untuk mendapatkan “dukungan penuh secara politik” dalam membentuk Danantara, yang sempat menuai kritik publik sebelum diluncurkan.
Agung juga menyoroti absennya Megawati Soekarnoputri, presiden kelima, yang meski diundang, tak hadir. “Karena Ibu Mega sebenarnya diundang namun tidak datang,” tambahnya.
Ketidakhadiran Megawati mempertegas bahwa kehadiran Jokowi dan SBY bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari konsolidasi politik yang selektif. Prabowo tampaknya memilih figur yang bersedia—andai tak bisa dibilang masih relevan—untuk mendukung narasi kepemimpinannya.
Power Sharing atau Sekadar Pencitraan?
Lebih jauh, kehadiran kedua mantan presiden ini juga memunculkan spekulasi tentang pembagian kekuasaan. Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, dalam wawancara dengan Kompas TV pada 25 Februari 2025, menyatakan, “Prabowo libatkan banyak pihak, ini menunjukkan ada semacam power sharing di balik Danantara.”
Ia membandingkan langkah ini dengan era Jokowi, saat Megawati dilibatkan sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP dan BRIN. Kini, Jokowi dan SBY diajak sebagai penasihat Danantara, sebuah posisi yang disebut Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi sebagai bentuk pengawasan oleh “figur-figur yang penuh integritas dan cinta Indonesia.”
Namun, ada nada skeptis di sini. Agung Baskoro memperingatkan bahwa keterlibatan elite ini bisa jadi hanya kosmetik jika tak diimbangi pengawasan riil. “Jadi agar beragam macam prasangka minor yang selama ini mengitari Danantara bisa tergerus perlahan,” katanya, seraya menyarankan pelibatan lembaga penegak hukum seperti KPK dan BPK untuk meminimalkan sentimen negatif publik.
Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, kehadiran Jokowi dan SBY bisa dipandang sebagai gimmick politik semata.
Kontras Citra Politik: SBY vs Jokowi
Menariknya, kehadiran keduanya juga membawa kontrast citra politik yang tak bisa diabaikan. Agung Baskoro menilai SBY membawa “sentimen positif” karena rekam jejaknya yang relatif stabil dan minim kontroversi di akhir masa jabatan. “Saya kira ya positif lah kalau kepada Pak SBY,” ujarnya.
Sebaliknya, Jokowi, yang belakangan kerap dikaitkan dengan isu dinasti politik dan kontroversi, dinilai membawa bagasi yang lebih berat.
“Sementara Pak Jokowi akhir-akhir ini banyak kontroversinya,” tambah Agung, mengisyaratkan bahwa kehadiran Jokowi mungkin lebih bernilai simbolik ketimbang substantif.
Apa yang Diincar Prabowo?
Di balik semua ini, apa sebenarnya yang diincar Prabowo? Pertama, legitimasi. Dengan menggandeng Jokowi—yang masih punya basis massa kuat—dan SBY—yang mewakili stabilitas era lalu—Prabowo ingin menunjukkan bahwa Danantara adalah proyek nasional, bukan sekadar ambisi pribadi atau kelompok tertentu.
Kedua, konsolidasi politik. Dalam konteks koalisi besar yang mengantarnya ke kursi presiden, kehadiran dua tokoh ini memperkuat kesan bahwa Prabowo mampu menyatukan berbagai kekuatan politik, meski Megawati absen menjadi catatan tersendiri.
Namun, ada risiko. Jika Danantara gagal menjawab ekspektasi publik—entah karena buruknya pengelolaan atau dugaan korupsi—kehadiran Jokowi dan SBY justru bisa menjadi bumerang.
Publik bisa melihat ini sebagai kolaborasi elite yang tak membuahkan hasil, atau lebih buruk lagi, sebagai pembuktian bahwa “politik seremoni” lebih diutamakan ketimbang substansi.
Panggung Politik yang Belum Selesai
Peluncuran Danantara, dengan Jokowi dan SBY sebagai pendamping Prabowo, adalah panggung politik yang penuh simbolisme. Ini tentang legitimasi, konsolidasi, dan mungkin sedikit pencitraan.
Namun, seperti disinggung Adi Prayitno, “Prabowo libatkan banyak pihak” tak akan cukup jika tak ada transparansi nyata. Publik akan menanti apakah Danantara benar-benar menjadi alat transformasi ekonomi, atau hanya babak baru dalam drama politik para elite.
Satu yang pasti: kehadiran Jokowi dan SBY bukan akhir cerita, melainkan awal dari ujian nyata bagi Prabowo di mata rakyat.