314 total views
INN NEWS – Keterlibatan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, sebagai pengawas dalam proyek Danantara menegaskan posisi ideologis pemerintahan Prabowo di panggung politik global.
Blair, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris selama tiga periode (1997–2007), kini menduduki posisi strategis dalam dua proyek besar Indonesia di bawah dua presiden berbeda: Ibu Kota Nusantara (IKN) di era Joko Widodo dan Danantara di era Prabowo Subianto. Kehadirannya dalam proyek-proyek strategis nasional ini memunculkan pertanyaan kritis di kalangan masyarakat: mengapa figur asing diberi peran pengawasan atas aset penting seperti ibu kota dan keuangan negara?
Latar Belakang Ideologi Tony Blair
Tony Blair bukanlah sosok baru dalam dinamika politik global. Ia dikenal sebagai politisi yang lahir dari ideologi kiri melalui Partai Buruh Inggris. Selama masa kepemimpinannya, Blair menunjukkan sejumlah karakteristik ideologis yang mencerminkan pandangannya terhadap dunia:
• Pendekatan terhadap Radikalisme dan Intervensi Global: Blair dikenal sebagai pendukung keras kebijakan antiterorisme, termasuk mendukung invasi Irak pada 2003 yang menggulingkan Saddam Hussein. Ia meyakini bahwa intervensi negara-negara besar diperlukan untuk menjaga stabilitas global (Blair, 2004).
• Kebijakan Sosial Progresif: Blair mengesahkan Civil Partnership Act 2004, yang mengakomodasi pernikahan sesama jenis, serta membuka pintu bagi imigrasi besar-besaran ke Inggris, baik legal maupun ilegal. Menurut Britannica, kebijakan ini membuat ekonomi Inggris lebih terpapar pada dampak globalisasi dibandingkan negara-negara Barat besar lainnya (Britannica, 2023).
• Peran Diplomasi Global: Pasca-pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri, Blair diangkat sebagai utusan khusus Kuartet untuk Timur Tengah (AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB) pada 2007–2015, menunjukkan komitmennya pada tatanan global (United Nations, 2007).
• Keterlibatan di Sektor Keuangan: Blair juga menjabat sebagai pengawas di JP Morgan, salah satu bank investasi terkemuka dunia, memperkuat citranya sebagai bagian dari elit global (JP Morgan, 2010).
Baca juga:
Danantara: Tonggak Ambisi atau Bom Waktu Rp14 Triliun?
Puncak dari ideologi globalis Blair terwujud pada 2017 melalui pendirian Tony Blair Institute for Global Change. Lembaga ini fokus melawan apa yang disebutnya sebagai “populisme otoriter,” sebuah label yang pada saat itu sering diasosiasikan dengan kebangkitan Donald Trump pada masa jabatan pertamanya sebagai Presiden AS (2017–2021) (Tony Blair Institute, 2017).
Globalis vs Nasionalis: Pertarungan Ideologi di Indonesia
Pertarungan ideologi antara globalis dan nasionalis menjadi sorotan dalam politik dunia, sebagaimana terlihat dalam persaingan antara Donald Trump dengan kampanye “Make America Great Again” (MAGA) melawan Joe Biden dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.
MAGA, yang menekankan nasionalisme dan kedaulatan negara, memiliki kesamaan dengan semangat “NKRI Harga Mati” di Indonesia. Dalam konteks ini, kehadiran Tony Blair di proyek IKN dan Danantara dapat dilihat sebagai representasi kepentingan globalis kiri di Indonesia.
Sejak kemunculannya di Indonesia pada 2020, pengaruh Blair bertepatan dengan perubahan dinamika politik nasional. Reformasi yang sebelumnya menjadi agenda utama tampak melemah, diikuti oleh transformasi tatanan politik.
Hal ini terlihat dari munculnya dua kutub politik baru: Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang dianggap mewakili globalis kiri, dan PDI Perjuangan (PDIP), yang menjadi wadah bagi kalangan nasionalis. Indonesia, dalam pandangan ini, telah menjadi arena pertarungan ideologi global yang mengingatkan pada epik Kurukshetra dalam Mahabharata.
Tantangan bagi Pancasila
Di tengah dinamika ini, pertanyaan mendasar muncul: mampukah Pancasila tetap menjadi fondasi kokoh bagi Indonesia? Keterlibatan figur seperti Tony Blair dalam proyek strategis nasional menambah kompleksitas dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan global dan identitas nasional.
Masyarakat diajak untuk turut mengawal proses ini demi memastikan bahwa Indonesia tetap berdiri tegak sebagai negara berdaulat.
Dr. Hanny Setiawan, M.B.A.