242 total views
INN NEWS – Program Danantara, yang baru-baru ini menjadi sorotan publik di Indonesia, telah memicu kontroversi besar. Digagas sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mengelola dana efisiensi anggaran guna mengatasi kemiskinan, program ini malah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Banyak yang menyebutnya sebagai “jual beli kemiskinan,” sebuah istilah yang mencerminkan skeptisisme terhadap efektivitas dan transparansi program tersebut.
Para pengamat ekonomi, aktivis sosial, dan masyarakat umum mempertanyakan apakah Danantara benar-benar solusi atau justru memperparah ketimpangan sosial yang sudah ada.
Danantara dan Kontroversi
Danantara pertama kali mencuat sebagai wacana untuk mengelola dana besar yang berasal dari pemangkasan anggaran berbagai sektor.
Tujuannya, menurut pemerintah, adalah untuk mendanai proyek-proyek strategis yang dapat mengentaskan kemiskinan.
Namun, sejak awal, program ini diwarnai oleh ketidakjelasan. Dana yang dikumpulkan disebut-sebut tidak dapat diaudit secara penuh, dan potensi penyalahgunaannya menjadi perhatian utama.
Ditambah lagi, pemotongan anggaran di sektor-sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan membuat publik semakin curiga bahwa Danantara justru mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi ambisi politik atau ekonomi tertentu.
Ketidaktransparanan ini diperparah oleh minimnya pengawasan. Sejumlah pihak menyoroti bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, seperti peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Danantara berpotensi menjadi ladang subur bagi praktik korupsi.
Baca juga:
Dari Blair ke Pancasila: Indonesia di Tengah Konflik Ideologi Global
Belum lagi, ada kekhawatiran bahwa program ini akan memperkuat oligarki, di mana kekayaan dan kekuasaan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elit.
Danantara ‘Jual Beli Kemiskinan’
Para pengamat memberikan pandangan beragam tentang Danantara, namun mayoritas menyuarakan kekhawatiran. Ekonom senior Faisal Basri, misalnya, dengan tegas mengkritik pendekatan yang digunakan dalam program ini.
“Danantara ini seperti menjual harapan palsu kepada rakyat miskin. Alih-alih menciptakan lapangan kerja atau meningkatkan pendapatan, yang kita lihat justru pemotongan anggaran di sektor yang seharusnya jadi tulang punggung pengentasan kemiskinan,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik baru-baru ini.
Senada dengan Faisal, aktivis dan jurnalis Dandhy Laksono menyoroti potensi penyelewengan yang sistematis. “Dengan rekam jejak kasus Jamsostek, Asabri, gagasan Tapera, sampai mengincar dana haji dan wakaf, Danantara bukan hanya ‘kapitalisme terpimpin’, juga berpotensi jadi ‘fraud terpimpin’,” katanya dalam sebuah posting di media sosial pada 18 Februari 2025.
Ia menambahkan bahwa program ini tampaknya lebih fokus pada akumulasi dana ketimbang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat miskin.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, melihat Danantara sebagai cerminan dari kebijakan yang terputus dari realitas sosial.
“Ini seperti jual beli kemiskinan: pemerintah memotong anggaran dari sektor pendidikan dan kesehatan yang vital bagi kaum miskin, lalu menjanjikan solusi megah tanpa bukti konkret. Publik tidak bodoh, mereka tahu ini hanya retorika,” tegasnya dalam wawancara dengan media lokal pada akhir Februari 2025.
Di sisi lain, ada pula yang mencoba melihat sisi positif, meski dengan catatan besar. Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, berkomentar, “Jika Danantara dikelola dengan tata kelola yang baik dan fokus pada pemberdayaan ekonomi, bukan sekadar bansos, ini bisa jadi terobosan. Tapi sayangnya, sampai saat ini kita belum melihat blue print yang jelas.” Pernyataan ini ia sampaikan dalam sebuah seminar daring pada 25 Februari 2025.
Istilah “jual beli kemiskinan” yang muncul dalam diskursus publik bukan sekadar metafora.
Bagi banyak orang, Danantara terlihat seperti skema yang mengambil dari kantong rakyat—lewat pemangkasan anggaran publik—untuk kemudian “dijual kembali” dalam bentuk janji-janji manis tanpa kepastian hasil.
Protes masyarakat, yang juga digaungkan melalui media sosial, menunjukkan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap kemampuan pemerintah mengelola dana besar ini secara adil dan transparan.