323 total views
INN NEWS – Daya beli masyarakat yang semakin melemah di tengah perlambatan ekonomi memberikan dampak nyata pada sektor perbankan, khususnya kredit kepemilikan rumah (KPR).
Tahun lalu, jumlah KPR bermasalah melonjak, sementara laju pertumbuhan outstanding KPR justru melambat.
Kondisi ini menjadi cerminan tantangan ekonomi yang kian berat bagi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), outstanding KPR perbankan per Januari 2025 mencapai Rp 793,6 triliun, tumbuh 10,8% secara year on year (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp 716,3 triliun dengan pertumbuhan 12,59% yoy. Perlambatan ini menunjukkan adanya tekanan pada sektor properti dan pembiayaan perumahan.
Baca juga:
Duh, Daya Beli Masyarakat Indonesia Melemah di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Di sisi lain, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) KPR terus merangkak naik. Pada Januari 2025, NPL KPR tercatat sebesar 2,84%, meningkat dari 2,53% pada Januari 2024.
Dengan kata lain, nilai KPR yang bermasalah mencapai Rp 22,5 triliun, melonjak Rp 4,38 triliun dalam kurun waktu satu tahun. Kenaikan ini menjadi sinyal adanya kesulitan finansial di kalangan debitur.
Bank Besar Rasakan Dampak
Kenaikan NPL KPR terlihat jelas pada bank-bank dengan pangsa pasar KPR terbesar di Indonesia, seperti Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Central Asia (BCA). BTN, yang dikenal sebagai penguasa KPR subsidi, mencatat NPL KPR subsidi sebesar 1,7% pada akhir 2024, naik dari 1,5% pada 2023. Sementara itu, NPL KPR non-subsidi BTN melonjak lebih signifikan, dari 2% menjadi 3,7% dalam periode yang sama.
Direktur Risk Management BTN, Setiyo Wibowo, menjelaskan bahwa kenaikan NPL ini dipicu oleh menurunnya daya beli masyarakat di tengah tren suku bunga tinggi serta maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Faktor lain yang turut memperparah kondisi adalah berakhirnya program relaksasi restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 pada Maret 2024. “Sebagian debitur yang sebelumnya mendapat restrukturisasi tak mampu bangkit, sehingga jatuh ke kategori NPL,” ujar Setiyo.
Senada dengan itu, EVP Consumer Loan Bank BCA, Welly Yandoko, mengungkapkan bahwa lonjakan NPL KPR di banknya juga dipengaruhi oleh gelombang PHK dan pelemahan daya beli.
Ia menyebut kenaikan NPL KPR BCA cukup signifikan pada kuartal II 2024. Namun, pada paruh kedua tahun lalu, angka tersebut mulai melandai dan berakhir di level 1,26% pada Desember 2024. Meski mengalami kenaikan, Welly menegaskan bahwa rasio NPL KPR BCA masih jauh di bawah rata-rata industri.
Tantangan ke Depan
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi sektor perbankan dan perekonomian secara keseluruhan. Melemahnya daya beli, suku bunga yang tinggi, serta ketidakpastian ekonomi pasca-berakhirnya relaksasi pandemi menjadi kombinasi faktor yang membebani debitur KPR.
Tanpa langkah strategis dari pemerintah dan pelaku industri, risiko kredit bermasalah berpotensi terus meningkat, yang pada akhirnya dapat menghambat pemulihan ekonomi.
Sementara itu, bank-bank besar seperti BTN dan BCA terus berupaya menjaga stabilitas portofolio KPR mereka. Namun, keberhasilan upaya tersebut akan sangat bergantung pada perbaikan kondisi ekonomi makro dan daya beli masyarakat yang menjadi tulang punggung sektor properti.