348 total views
INN NEWS – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah di Indonesia telah turun kelas.
Data ini menjadi sorotan karena kelas menengah dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional, berkontribusi besar terhadap konsumsi rumah tangga dan stabilitas fiskal.
Penurunan ini mengindikasikan adanya tekanan ekonomi yang signifikan. Apa yang menjadi penyebabnya?
Data BPS
Menurut laporan BPS yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada 28 Agustus 2024, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mengalami penurunan drastis.
Berikut adalah datanya:
Tahun 2019: Jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang, setara dengan 21,45% dari total penduduk Indonesia.
Tahun 2024: Angka tersebut menyusut menjadi 47,85 juta orang, atau hanya 17,13% dari total penduduk.
Artinya, dalam lima tahun, sebanyak 9,48 juta orang kelas menengah turun ke kategori yang lebih rendah, seperti kelompok “menuju kelas menengah” (aspiring middle class) atau bahkan “rentan miskin”.
Sementara itu, kelompok rentan miskin meningkat dari 54,97 juta orang (20,56%) pada 2019 menjadi 67,69 juta orang (24,23%) pada 2024. Kelompok miskin juga naik tipis dari 25,14 juta (9,41%) menjadi 25,22 juta (9,03%), sedangkan kelas atas hanya bertambah sedikit dari 1,02 juta (0,38%) menjadi 1,07 juta (0,38%).
BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok dengan pengeluaran per kapita per bulan antara 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan, atau sekitar Rp2,04 juta hingga Rp9,90 juta (berdasarkan garis kemiskinan Rp582.932 per kapita per bulan pada Maret 2024).
Penurunan ini menunjukkan bahwa banyak warga kelas menengah kini berada lebih dekat ke batas bawah, sehingga rentan turun kelas saat menghadapi guncangan ekonomi.
Penyebab Utama Penurunan Kelas Menengah
Berdasarkan data BPS dan analisis dari berbagai sumber, berikut adalah faktor-faktor utama yang menyebabkan 9,48 juta warga kelas menengah turun kelas:
Dampak Pandemi Covid-19 (Scarring Effect)
Amalia Adininggar menyebutkan bahwa penurunan ini merupakan bagian dari “scarring effect” atau efek jangka panjang dari pandemi Covid-19.
Pandemi yang melanda sejak 2020 menyebabkan gangguan besar pada perekonomian, termasuk hilangnya pekerjaan, penurunan pendapatan, dan melemahnya daya beli.
Banyak kelas menengah yang bergantung pada sektor informal atau pekerjaan formal dengan pendapatan tidak tetap terdampak langsung.
Data BPS menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah mulai menurun signifikan pasca-pandemi, dari 53,83 juta pada 2021 menjadi 47,85 juta pada 2024.
Kenaikan Biaya Hidup dan Beban Pajak
Dalam lima tahun terakhir, pengeluaran kelas menengah untuk kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, pendidikan, dan pajak meningkat. BPS mencatat bahwa proporsi pengeluaran untuk pajak atau iuran pada 2024 naik 1,05% dibandingkan 2019.
Kelas menengah, yang menjadi penyumbang utama pajak (sekitar 50,7% dari penerimaan pajak menurut LPEM FEB UI), tidak mendapatkan insentif atau bantuan signifikan dari pemerintah dibandingkan kelompok miskin.
Sementara itu, pendapatan mereka tidak meningkat sebanding dengan kenaikan biaya hidup, seperti harga pangan yang melonjak dan biaya transportasi yang naik 7,5% sejak 2019.
Minimnya Perlindungan Sosial untuk Kelas Menengah
Kelas menengah sering kali berada di posisi “serba salah”: penghasilan mereka dianggap cukup untuk tidak masuk kategori miskin, tetapi tidak cukup kuat untuk bertahan dari tekanan ekonomi.
Berbeda dengan kelompok miskin yang menerima bantuan sosial langsung, kelas menengah jarang mendapat subsidi atau intervensi fiskal. Hal ini membuat mereka rentan turun kelas, terutama ketika menghadapi kenaikan pengeluaran tanpa tambahan pendapatan.
Persaingan Ekonomi dan Daya Saing Produk Lokal
Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Prof. Rossanto Dwi Handoyo, menyoroti dampak perang dagang global, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Tiongkok mencari pasar baru seperti Indonesia, yang melemahkan daya saing produk lokal. Banyak perusahaan lokal terpaksa mengurangi tenaga kerja atau menekan upah, sehingga pendapatan kelas menengah menurun.
Selain itu, sektor UMKM, yang menjadi tumpuan banyak kelas menengah, menghadapi persaingan ketat dengan pendapatan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Pergeseran Pola Pengeluaran
Data BPS menunjukkan perubahan prioritas pengeluaran kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Pengeluaran untuk hiburan turun dari 0,47% menjadi 0,38%, dan untuk kendaraan dari 5,63% menjadi 3,99%, sementara pengeluaran untuk makanan dan perumahan meningkat.
Ini mengindikasikan bahwa kelas menengah lebih fokus pada kebutuhan dasar akibat tekanan ekonomi, yang memperparah risiko turun kelas.
Dampak dan Tantangan ke Depan
Penurunan jumlah kelas menengah ini berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kelas menengah menyumbang 43,3% konsumsi rumah tangga pada 2019, tetapi kontribusinya menurun menjadi 36,8% pada 2023.
Jika tren ini berlanjut, daya beli masyarakat akan semakin lemah, yang terlihat dari deflasi selama empat bulan berturut-turut pada 2024 (Mei-Agustus), menurut Prof. Rossanto.
Selain itu, stabilitas politik juga bisa terganggu jika kelas menengah terus tergerus, karena mereka menjadi penyangga utama antara kelompok miskin dan atas.