598 total views
INN NEWS – Industri perhotelan Indonesia sedang dilanda krisis akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang memangkas belanja negara hingga Rp306,69 triliun.
Kebijakan ini memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor perhotelan, namun Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana justru dinilai absen dari sorotan publik dan minim memberikan respons atas permasalahan ini.
Ketidakhadiran sang menteri memicu kritik tajam dari pelaku industri dan masyarakat, yang menuntut solusi konkret untuk menyelamatkan sektor pariwisata.
Krisis Perhotelan dan Dampak Efisiensi Anggaran
Kebijakan efisiensi anggaran yang berlaku sejak November 2024 telah menghentikan sebagian besar aktivitas pemerintah di sektor perhotelan, seperti rapat, perjalanan dinas, dan acara Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE).
Segmen pemerintah, yang menyumbang sekitar 40% pendapatan hotel bintang tiga hingga lima, kini nyaris lenyap. Akibatnya, tingkat okupansi hotel turun drastis, dengan penurunan rata-rata 25-35% di destinasi wisata utama seperti Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) melaporkan bahwa lebih dari 80% pelaku industri perhotelan terpaksa melakukan PHK untuk bertahan.
Di Bandung, pengurangan karyawan mencapai 20-30% per hotel sejak Januari 2025, sementara di Bogor, tiga hotel tutup permanen, menyebabkan ratusan pekerja kehilangan mata pencaharian. PHRI memperkirakan kerugian sektor ini mencapai Rp22 triliun, dengan potensi memburuk jika tidak ada intervensi pemerintah.
Ketua PHRI, Hariyadi B. Sukamdani, mengungkapkan kekecewaannya, “Kami butuh kehadiran pemerintah, terutama Menteri Pariwisata, untuk memberikan arah dan solusi. Namun, hingga kini, kami hanya mendengar keheningan.
Absennya Menteri Pariwisata di Tengah Krisis
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, yang menjabat sejak Oktober 2024, menjadi sorotan karena jarang muncul di publik untuk mengatasi krisis ini.
Berbeda dengan pendahulunya, Sandiaga Uno, yang aktif berkomunikasi melalui media sosial dan kunjungan lapangan, Widiyanti cenderung low-profile.
Sejak krisis perhotelan mencuat, ia hanya memberikan satu pernyataan resmi pada Februari 2025, menyebutkan bahwa dampak efisiensi anggaran “bersifat sementara” dan mendorong pelaku industri mencari pasar baru. Namun, pernyataan ini dianggap kurang solutif dan tidak disertai tindakan nyata.
Ketiadaan Widiyanti dalam diskusi publik memicu spekulasi bahwa ia menghindari isu sensitif ini. Dalam beberapa kesempatan, seperti rapat koordinasi dengan DPR pada Maret 2025, ia diwakili oleh Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenpar, Rizki Handayani Mustafa.
Rizki menyatakan bahwa Kemenpar sedang mengembangkan program incentive trip untuk menarik wisatawan korporasi dan mempromosikan destinasi baru, tetapi tanpa kehadiran menteri, usulan ini dianggap kurang memiliki bobot politik untuk memengaruhi kebijakan lintas kementerian.
Komentar Publik dan Kritik Tajam
Ketiadaan Widiyanti memicu gelombang kritik di media sosial, terutama di platform X, tempat pelaku industri dan masyarakat menyuarakan kekecewaan.
Seorang pengguna X, @HotelierID, menulis, “Menteri Pariwisata ke mana? Hotel tutup, karyawan di-PHK, tapi beliau cuma muncul di acara seremonial. Pariwisata lagi krisis, Bu!” Unggahan ini mendapat ribuan interaksi, mencerminkan frustrasi publik.
Asosiasi pekerja hotel, seperti Forum Komunikasi Pekerja Pariwisata (FKPP), juga menyayangkan sikap pasif menteri. Ketua FKPP, I Made Sutama, mengatakan, “Kami tidak melihat keberpihakan dari Menteri Widiyanti. Setidaknya, berikan pernyataan yang menunjukkan empati kepada ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan.”
Analis kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Satria Wibawa, menilai absennya Widiyanti menunjukkan kurangnya koordinasi di tubuh Kemenpar.
“Dalam situasi krisis, menteri harus menjadi wajah pemerintah, memberikan harapan, dan memimpin negosiasi untuk solusi. Ketidakhadiran beliau justru memperburuk persepsi publik terhadap pemerintah,” ujarnya.
Langkah Kemenpar dan Harapan ke Depan
Meski minim kehadiran menteri, Kemenpar telah menggulirkan beberapa inisiatif, seperti pelatihan vokasi untuk pekerja terdampak PHK dan promosi wisata domestik melalui Gerakan Wisata Bersih.
Namun, pelaku industri menilai langkah ini tidak cukup untuk mengatasi krisis jangka pendek. PHRI mendesak pemerintah memberikan insentif, seperti keringanan pajak atau subsidi operasional, untuk mencegah lebih banyak hotel tutup.
Sementara itu, tekanan terhadap Widiyanti diperkirakan akan meningkat menjelang evaluasi kinerja kabinet pada Mei 2025. Beberapa anggota DPR dari Komisi X, yang membidangi pariwisata, telah meminta Widiyanti untuk lebih proaktif.
“Kami ingin menteri turun ke lapangan, dengar keluhan pelaku usaha, dan berkoordinasi dengan kementerian lain untuk mencari solusi,” kata anggota Komisi X, Putu Supadma Rudana.
Badai PHK di sektor perhotelan akibat efisiensi anggaran 2025 telah menempatkan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana di bawah sorotan.
Ketidakhadirannya di ruang publik dan minimnya komentar terkait krisis ini memicu kritik keras dari pelaku industri, pekerja, dan masyarakat.
Untuk memulihkan kepercayaan, Widiyanti perlu menunjukkan kepemimpinan yang lebih tegas, baik melalui kehadiran langsung maupun kebijakan yang solutif.
Tanpa langkah cepat, sektor pariwisata, yang selama ini menjadi penopang ekonomi nasional, berisiko mengalami ker