1,574 total views
INN NEWS – Pengangkatan Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), sebagai Komisaris Independen PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food) oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada Maret 2025 telah memicu gelombang kritik.
Langkah ini bukan hanya memantik polemik, tetapi juga menggambarkan blunder besar dalam tata kelola BUMN yang seharusnya mengedepankan integritas, kompetensi, dan keadilan hukum.
Silfester, seorang terpidana dengan vonis inkrah 1 tahun 6 bulan penjara yang belum dieksekusi, justru diangkat ke posisi strategis dengan gaji besar. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan: apakah Kementerian BUMN telah kehilangan kompas moral dan profesionalisme?
Kasus Hukum Silfester: Fitnah dan Impunitas
Pada 20 Mei 2019, Mahkamah Agung (MA) memvonis Silfester Matutina bersalah atas kasus pencemaran nama baik dan fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Dalam orasinya di depan Mabes Polri pada 15 Mei 2017, Silfester menuduh JK menggunakan isu SARA untuk mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilgub DKI Jakarta 2017.
Tuduhan ini terbukti tidak berdasar, dan MA memperberat vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dari satu tahun menjadi 1 tahun 6 bulan penjara.
Namun, hingga Agustus 2025, Silfester belum menjalani hukuman tersebut, meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa eksekusi putusan tetap akan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, meskipun Silfester mengklaim telah berdamai dengan JK.
Perdamaian pribadi tidak menghapus kewajiban hukum dalam kasus pidana umum. Namun, absennya eksekusi selama enam tahun sejak vonis inkrah memicu spekulasi adanya perlindungan politik.
Tekanan sosial kini meningkat, dengan publik dan aktivis mendesak Kejagung untuk segera mengeksekusi putusan tersebut.
Media sosial, khususnya platform X, dipenuhi seruan agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, dengan banyak pihak mempertanyakan mengapa seorang terpidana masih bebas dan bahkan menduduki jabatan publik.
Kegagalan Sistem Meritokrasi
Pengangkatan Silfester tidak hanya bermasalah dari sisi hukum, tetapi juga dari aspek kelayakan profesional.
Sebagai komisaris independen, seorang pejabat diharapkan memiliki integritas tinggi, rekam jejak bersih, dan kompetensi yang relevan.
Namun, Silfester, yang dikenal sebagai loyalis Presiden Joko Widodo dan pendukung pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, tampaknya diangkat lebih karena afiliasi politik ketimbang kapabilitas.
Latar belakang pendidikannya pun menuai sorotan. Gelar Sarjana Hukum yang ia peroleh dari Universitas Wiraswasta Indonesia—yang izinnya dicabut pada 2023 karena praktik kuliah fiktif dan jual-beli ijazah—menggambarkan keraguan atas kredibilitas akademiknya.
Eks Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, melalui unggahan Instagram pada 8 Agustus 2025, mempertanyakan proses profiling di lingkungan BUMN.
Apakah Silfester jujur menyampaikan status hukumnya? Apakah Kementerian BUMN memeriksa Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) atau melakukan due diligence menyeluruh? Jika tidak, ini menunjukkan kelalaian sistemik dalam proses pengangkatan pejabat publik.
Jika status hukum Silfester diketahui namun tetap diangkat, maka keputusan ini mencerminkan pengabaian sengaja terhadap prinsip tata kelola yang baik.
Politik Akomodasi atau Ketahanan Pangan?
Pihak pendukung, seperti Syafrudin Budiman (Gus Din) dari Aliansi Relawan Prabowo-Gibran, membela pengangkatan Silfester dengan alasan bahwa ia mampu menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam mendukung program ketahanan pangan, termasuk Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pengangkatan ini juga disebut sebagai bagian dari perombakan direksi dan komisaris ID Food untuk memperkuat swasembada pangan nasional.
Namun, alasan ini terasa lemah di tengah fakta bahwa Silfester adalah terpidana yang belum memenuhi kewajiban hukumnya, ditambah tekanan publik yang kini dialamatkan kepada Kejagung untuk segera bertindak.
Langkah Erick Thohir ini sulit dilepaskan dari konteks politik pasca-Pilpres 2024. Sebagai loyalis Jokowi dan bagian dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Silfester tampaknya mendapatkan “hadiah” atas kesetiaannya.
Namun, akomodasi politik semacam ini justru merusak kepercayaan publik terhadap Kementerian BUMN, yang seharusnya menjadi teladan dalam tata kelola perusahaan negara.
ID Food, yang memiliki peran strategis dalam sektor pangan, membutuhkan figur dengan integritas tinggi, bukan seseorang yang membawa beban hukum dan kontroversi.
Blunder yang Merugikan
Blunder Erick Thohir dalam kasus Silfester bukan hanya soal pengangkatan individu bermasalah, tetapi juga tentang sinyal yang dikirimkan kepada publik: bahwa hukum dapat dikesampingkan demi kepentingan politik.
Tekanan sosial yang kini dihadapi Kejagung mencerminkan keresahan publik atas ketidakadilan ini. Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi, dengan tegas menyebut langkah ini “sinting” dan “mengangkangi keadilan hukum” melalui cuitannya di X pada 1 Agustus 2025.
Jika Kementerian BUMN serius menjunjung meritokrasi dan keadilan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencabut pengangkatan Silfester dan memastikan proses seleksi yang transparan serta bebas dari intervensi politik.
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa tata kelola BUMN tidak boleh dikompromikan demi kepentingan jangka pendek. Erick Thohir, yang dikenal dengan jargon transformasi BUMN, harus segera mengoreksi blunder ini agar kepercayaan publik tidak semakin tergerus.
Kejagung, di sisi lain, harus menunjukkan komitmennya terhadap supremasi hukum dengan segera mengeksekusi putusan inkrah, tanpa mempedulikan status politik Silfester.
Hukum harus ditegakkan, dan jabatan publik harus diisi oleh mereka yang benar-benar layak—bukan mereka yang dilindungi oleh koneksi politik.


