2,193 total views
Jakarta, innindonesia.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), inisiatif unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang diluncurkan sejak 6 Januari 2025, terus menuai kontroversi.
Meski bertujuan mengurangi stunting dan mendukung 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun, program ini malah menjadi sorotan akibat maraknya kasus keracunan massal di kalangan siswa.
Data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan kasus keracunan sepanjang September 2025, dengan gejala umum seperti mual, muntah, diare, dan dehidrasi yang menimpa ribuan anak.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 16 September 2025, terdapat 60 kasus keracunan MBG yang melibatkan 5.207 penderita.
Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 55 kasus dengan 5.320 penderita hingga 10 September.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan memperkirakan angka sebenarnya lebih tinggi, mencapai 5.360 anak hingga pertengahan September, karena banyak kasus diduga ditutupi oleh sekolah atau pemerintah daerah.
Puncak kasus terjadi pada Agustus 2025, tetapi tren naik terus berlanjut di September, dengan Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 4.711 porsi makanan bermasalah dari total 1 miliar porsi yang disajikan sejak program dimulai.
Kasus keracunan ini tersebar di 17 provinsi, melibatkan puluhan kota dan kabupaten. Penyebab utama meliputi higienitas rendah, kontaminasi silang, suhu penyimpanan tidak sesuai, dan bahan makanan tidak layak konsumsi seperti ikan basi atau daging mentah.
Di September saja, setidaknya 10 kasus baru dilaporkan, dengan korban mencapai ratusan siswa.
Provinsi Jawa Barat (Jabar) menempati posisi teratas dengan kasus keracunan MBG terbanyak, baik secara kumulatif maupun di September 2025.
Menurut Kepala Staf Kepresidenan (KSP) M. Qodari, Jabar menjadi pusat puncak kejadian, dengan sebaran di berbagai kabupaten seperti Bandung Barat, Garut, Tasikmalaya, dan Bogor.
Pada 22 September saja, 75 siswa di Cipongkor, Bandung Barat, dirawat akibat keracunan, memicu status Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Pemkab.
Kasus serupa di Garut menimpa 500 siswa, sementara di Tasikmalaya dan Bogor masing-masing ratusan anak mengalami gejala serupa sejak awal bulan.
Faktor penyebab di Jabar meliputi kurangnya sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) pada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), serta distribusi makanan yang tidak tepat waktu.
“Puncak kejadian tertinggi pada Agustus, tapi September masih tinggi di Jabar,” ujar Qodari. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menyoroti bahwa daerah seperti Jabar harus menanggung biaya perawatan korban, sementara serapan anggaran MBG nasional hanya 18,6% atau Rp13,2 triliun dari Rp71 triliun hingga September.
Kasus keracunan ini tidak hanya menimbulkan trauma bagi siswa dan orang tua, tapi juga membebani fasilitas kesehatan.
Di Banggai Kepulauan, misalnya, tenda darurat didirikan untuk menampung 251 korban. Orang tua di berbagai daerah, seperti di NTT, melaporkan anak mereka trauma dan menolak MBG. JPPI menduga angka sebenarnya lebih besar karena adanya tekanan untuk menutupi kasus, termasuk surat pernyataan orang tua yang melarang tuntutan hukum.
Pemerintah merespons dengan memperkuat pengawasan. BGN menurunkan tim ke lokasi kasus, seperti di Banggai Kepulauan untuk investigasi ikan tuna goreng saus.
Kepala BGN Dadan Hindayana menekankan sertifikasi SLHS bagi SPPG dan kolaborasi dengan pemda.
Namun, kritik terus mengalir: Komisi IX DPR usul MBG dikelola sekolah untuk memutus rantai keracunan, sementara CISDI dan KPAI mendesak moratorium sementara program ini. “Perut seperti tertusuk, saya trauma,” kisah seorang siswa di Kupang.
Serapan anggaran rendah (Rp15,7 triliun hingga akhir September) juga menjadi sorotan, meski program sudah menjangkau 38 provinsi dan 22 juta penerima.
Transparency International Indonesia menemukan menu MBG sering di bawah Rp10.000 per porsi, menimbulkan dugaan ketidakefisienan.


