HomeOpiniVIETNAM VS INDONESIA Perbedaan Rasa Krisis dan Tenggat Waktu

VIETNAM VS INDONESIA Perbedaan Rasa Krisis dan Tenggat Waktu

Published on

spot_img

 284 total views

Tiga puluh tahun lalu, Vietnam berada jauh di belakang Indonesia. Pada 1994, pendapatan per kapita Indonesia sekitar US$1.800, sementara Vietnam hanya US$860, kurang dari separuh. Namun setelah tiga dekade, jarak itu menyempit drastis. Indonesia berada di US$4.370, Vietnam US$4.020. Selisihnya tinggal sehelai rambut. Dalam satu–dua tahun ke depan, Vietnam akan menyalip Indonesia.

Jika melihat distribusi kesejahteraan, gambarnya lebih jelas. Dengan standar kemiskinan internasional US$4,2 per hari, pada 2023 sekitar 21,9% penduduk Indonesia masih miskin, sementara Vietnam hanya 4,2%. Bila ambangnya dinaikkan ke US$8,3, sekitar 70% penduduk Indonesia tergolong miskin, Vietnam sekitar 22%. Perbedaannya bukan sekadar angka, tetapi potret ketidakseimbangan kemampuan sosial-ekonomi yang jauh lebih tajam di Indonesia.

Yang menarik adalah pembangunan ekonomi modern Vietnam baru benar-benar mengambil bentuk sejak awal 1990-an, setelah mereka keluar dari perang besar, konflik internal, dan luka sosial yang panjang. Reformasi ekonomi memang diumumkan 1986, tetapi akselerasi nyata baru terjadi ketika arah kebijakan diperjelas dan prioritas dipersempit: tumbuh atau tenggelam. Vietnam hidup dengan tenggat waktu. Indonesia sering hidup dengan anggapan bahwa waktu selalu tersedia.

Inilah perbedaan fundamental pertama: krisis sebagai kompas

Vietnam tumbuh bukan karena kondisi nyaman, tetapi karena merasa terdesak. Krisis memaksa disiplin, fokus, dan konsistensi. Kebijakan bukan bahan presentasi, melainkan keputusan hidup-mati (survival).

Indonesia juga pernah mengalami krisis besar 1997–98, yang membuka betapa rapuhnya fondasi ekonomi, betapa tertinggalnya kualitas SDM, dan betapa mahalnya ongkos politik yang sarat KKN dan kekuasaan. Namun setelah api mereda, kita kembali siklus lama. Daur ulang. “Ganti bungkus, isi tetap sama”. Sistim agak berbeda, orang-orangnya sama. Indonesia membaik di permukaan, tetapi rapuh di bawah.

Vietnam memperlakukan krisis seperti alarm kebakaran; bergerak untuk menyelematkan. Indonesia sering memperlakukannya seperti sirene ambulans yang terdengar bising sebentar lalu hilang di tikungan. Dan kita kembali “berdamai” dengan macet, mental, mindset, dan KKN sama. Era Reformasi hanya sekedar sirene ambulans.

Perbedaan kedua terletak pada mesin pertumbuhan

Vietnam memilih jalur sederhana tetapi fokus: manufaktur dan ekspor. Mereka membangun kawasan industri, menarik investasi asing, dan mempercepat integrasi perdagangan internasional. Hasilnya terlihat dari struktur ekonomi: perdagangan Vietnam naik dari sekitar 19% PDB (1988) menjadi sekitar 184% (2022). Vietnam tidak sekadar berdagang, mereka harus berdagang. Dan karena harus, disiplin berubah menjadi budaya.

Indonesia bergerak ke arah berbeda. Gejala deindustrialisasi kian jelas. Porsi manufaktur menurun, kesempatan kerja formal menyusut, dan investor industri cenderung memilih negara yang lebih konsisten dan lebih simpel secara regulasi, dengan Vietnam menjadi salah satu pilihan utama. Indonesia semakin bergantung pada komoditas sumber daya alam yang harganya fluktuatif, tidak berkelanjutan, dan gagal mendorong lompatan produktivitas nasional. Ketergantungan pada ombak global membuat kita ikut naik saat ombak tinggi, tetapi tidak mampu berenang ketika surut.

Perbedaan ketiga adalah koherensi kebijakan

Vietnam relatif “satu komando.” Indonesia memiliki banyak pusat keputusan. Desentralisasi adalah prestasi demokrasi Era Reformasi, tetapi tanpa koordinasi kuat, itu berubah menjadi labirin biaya ekonomi. Perizinan, tafsir aturan, lahan, tata ruang, retribusi, hingga logistik domestik semuanya dapat memperlambat dan menghalangi investasi. Bukan mustahil diatasi, tetapi terlalu mahal dan terlalu lambat.

Kita sering menilai pembangunan melalui prosedur, bukan hasil. Development by procedure ini membuat regulasi dan birokrasi tampak seperti prestasi, meski implementasi masih jauh dari selesai.

Vietnam tentu punya masalahnya sendiri. Namun mereka menjaga arah kebijakan tetap lurus: tarik investasi, bangun basis manufaktur, dorong ekspor, pangkas hambatan. Konsistensi itu bukan kebetulan. Itu adalah hasil dari rasa krisis.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil? Empat prioritas yang tak bisa ditunda

Pertama, mengembalikan industri manufaktur ke pusat panggung pembangunan

Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia bergeser dari ekonomi berbasis industri ke ekonomi berbasis jasa. Pangsa tenaga kerja industri kita stagnan, sekitar 22%. Angka itu pun “terbantu” oleh pertambangan, bukan manufaktur. Sementara Vietnam menyerap 31% tenaga kerjanya dalam industri, mayoritas manufaktur. Akibatnya, jutaan pekerja Indonesia berpendidikan rendah dan menengah terpaksa masuk sektor jasa dan informal berupah rendah.

Tingkat kemiskinan Indonesia yang 70% dengan standar internasional US$8.3 per hari bukan sekadar statistik. Itu bukti bahwa tanpa mesin industri manufaktur yang kuat, mayoritas angkatan kerja memang sulit berkembang. Untuk memotong kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja yang produktif, industri manufaktur harus menjadi lokomotif ekonomi, sambil transisi ke industri dan jasa high-tech dipersiapkan.

Kedua, merapikan koordinasi dan kepastian aturan agar iklim investasi tidak tersendat

Indonesia tidak kekurangan regulasi, kita justru berlebih. Yang kurang adalah konsistensi dan kepastian. Koordinasi lintas sektor dan daerah sering tidak selaras, izin berbeda tafsir, dan proses administratif panjang. Bagi investor, yang mahal bukan biaya resmi, melainkan ketidakpastian.

Inilah yang membuat banyak perusahaan asing memilih negara tetangga. Indonesia perlu meninggalkan pola pikir development by procedure, seolah membuat aturan sama dengan membangun. Yang kita butuhkan adalah development by execution: aturan sederhana, jelas, dan ditegakkan tanpa kompromi.

Ketiga, membangun disiplin ekspor: logistik efisien, produktivitas tenaga kerja, dan standar kualitas yang konsisten

Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, dan Malaysia tumbuh lewat export discipline. Mereka menggunakan pasar global untuk menguji kualitas industri mereka. Vietnam melakukan hal yang sama: memperbaiki logistik, membangun zona industri, memperkuat pendidikan vokasi, dan menjaga kepastian kebijakan.

Indonesia belum memiliki kedisiplinan itu. Biaya logistik tinggi, standar produk tidak seragam, dan produktivitas tertinggal. Jika manufaktur ingin bangkit, ekspor harus menjadi panggung utamanya. Tanpa orientasi ekspor, industri nasional akan terus berputar di kolam kecil sambil negara lain berenang di lautan.

Keempat, transformasi ekosistem inovasi nasional: pendidikan tinggi, R&D, dan pengembangan SDM

Inilah fondasi di era ekonomi global yang selama ini kurang disentuh. Sistem pendidikan tinggi kita belum dirancang untuk menghasilkan SDM berkelas global. R&D nasional masih sangat rendah dalam pendanaan, kapasitas, dan relevansi ke industri. Perguruan tinggi sering terjebak sebagai “pabrik gelar”, bukan pusat riset dan inovasi. Akibatnya, industri miskin produktivitas dan negara miskin inovasi.

Vietnam sudah menata ekosistem inovasinya sejak satu dekade lalu. Indonesia masih sibuk dengan persoalan internal, prosedur administratif, dan dinamika politik kampus. Tanpa transformasi ekosistem inovasi—pendidikan tinggi yang kuat, riset yang relevan, SDM unggul, dan industri prioritas—kita akan terus terjebak dalam jebakan pendapatan menengah.

Saya mencoba menyuarakan kebutuhan ini melalui buku NOW or NEVER, yang memaparkan cetak biru transformasi ekosistem inovasi nasional. Namun, di tanah air, percakapan publik sering terseret oleh gosip, media sosial, dan jargon. Berpikir kritis membutuhkan nalar dan atensi; dua hal yang sayangnya sangat langka. Atensi kita sangat pendek, dan hanya sekitar 1% penduduk yang benar-benar mampu berpikir kritis secara mendalam.

Pada akhirnya, inti persoalan kita adalah mindset

Vietnam berlari karena merasa waktu mereka sedikit. Ada rasa krisis yang membimbing keputusan.

Indonesia berjalan santai karena merasa waktunya banyak. Seolah tidak ada tenggat. Rasa krisis yang tumpul membuat solusi inovatif dianggap hal biasa, padahal tantangan yang kita hadapi sudah kronis. Sejarah berulang kali mengingatkan: bangsa yang mengira waktu adalah sekutu, justru sering kehabisan waktu.

Jika Indonesia ingin benar-benar maju, kita harus menumbuhkan sense of crisis dan sense of urgency. Ini sebelum jarak dengan Vietnam melebar bukan hanya sehelai rambut, melainkan berubah menjadi jurang baru. Sama seperti jarak menganga kita dengan Cina hari ini, yang juga berada di belakang kita tiga dekade lalu: mereka berangkat dari pendapatan per kapita sekitar US$1.400, ketika Indonesia sudah berada di US$1.800.

(Elwin Tobing, Profesor ekonomi, Presiden INADATA, Irvine, AS; Menulis buku “ NOW or NEVER yang memberikan blueprint transformasi ekosistem inovasi nasional sebagai syarat mutlak menuju Indonesia Emas 2050. Elwin juga penggagas Gerakan LIFT- Literacy for the Future dan Jambore Literasi dan Numerasi sebagai suatu ekosistem mentransformasi literasi dan karakter peserta didik Indonesia).

Artikel Terbaru

Keresahan Wacana Pilkada Lewat DPRD: Ancaman Korupsi, Oligarki, dan Bayang-Bayang Orde Baru

Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung...

SMI Fest 2025 : Pentinya Belajar Musik di Era Ai

INNNEWS – Sekolah Musik Indonesia (SMI) kembali menggelar ajang tahunan Sekolah Musik Indonesia Fest...

Tragedi Sydney: Gelombang Kebencian Anti-Yahudi

INNNEWS –Dua pria bersenjata melakukan penembakan massal di acara perayaan Hanukkah di Bondi Beach,...

Setelah Sumatra Aceh, Kini Bali Diterjang Banjir

INNNEWS- Pulau Bali diterjang banjir hebat akibat hujan deras yang mengguyur sejak Sabtu (13/12/2025)...

artikel yang mirip

Keresahan Wacana Pilkada Lewat DPRD: Ancaman Korupsi, Oligarki, dan Bayang-Bayang Orde Baru

Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung...

SMI Fest 2025 : Pentinya Belajar Musik di Era Ai

INNNEWS – Sekolah Musik Indonesia (SMI) kembali menggelar ajang tahunan Sekolah Musik Indonesia Fest...

Tragedi Sydney: Gelombang Kebencian Anti-Yahudi

INNNEWS –Dua pria bersenjata melakukan penembakan massal di acara perayaan Hanukkah di Bondi Beach,...