165 total views
INN NEWS – Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menyatakan, wacana kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD menimbulkan resistensi yang cukup besar. Dari studinya, banyak masyarakat yang menolak.
“Jadi sebenarnya wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD sudah lama disuarakan sejumlah elite, tetapi gagal terus. Terutama, misalnya, resistansi dari publik sangat besar. Dari studi yang kami lakukan itu orang yang tidak setuju terhadap gagasan menghapus pilkada langsung itu besar sekali di masyarakat,” kata Saidiman kepada sebuah sumber resmi, melansir Sabtu (14/12/2024).
Dia menilai, gagasan kepala daerah dipilih DPRD adalah bentuk dari fenomena di kalangan elite karena lelah berkompetisi di antara mereka. Sehingga, ada keinginan suatu penyelesaian di tingkat elite layaknya ciri khas orde baru.
“Wacana ini memang khas elite dan menjadi lebih kuat karena semacam ada semangat elite kita untuk mengembalikan mindset orde baru, di mana penyelenggaraan pemerintahan itu dilakukan di tingkat elite saja, publik tak diberikan kesempatan. Jadi itu mindset lama dan menguntungkan elite utama, jadi mereka menunjukkan siapa calon kepala daerah,” ujar Saidiman.
Baca juga:
Ramai-ramai Parpol Mau Gaskan Kepala Daerah Dipilih DPRD, PDIP: Tetap Rakyat yang Memilih
Lanjutnya, wacana pilkada dipilih DPRD jelas merugikan, karena rakyat tidak bisa menentukan atau mengevaluasi langsung apakah seorang kepala daerah baik atau tidak. Apakah calon kepala daerah layak atau tidak untuk memimpin daerahnya.
“Jadi evaluasinya tergantung kepada elite. Itu menurut saya akan sangat merugikan, karena pada kepala daerah tidak akan bisa bekerja maksimal karena mereka untuk bisa terpilih kembali adalah orientasinya menyenangkan para elite di atas, ketua ketua partai,” ucap Saidiman.
“Saya kira kepentingan publik menjadi nomor dua, kepentingan elite yang utama. Jadi orientasinya akan berubah dan akan merugikan masyarakat,” tegasnya.
Saidiman tidak sependapat bila pemilihan langsung menyebabkan pemborosan keuangan negara. Padahal, dengan kontrol publik, korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa diawasi.
“Dengan ada kontrol publik, pembangunan itu jadi lebih efektif. Korupsi mungkin bisa ditekan karena ada kontrol publik langsung, jadi publik dibiasakan mengontrol pemimpinnya sampai di tingkat lokal. Itu bagus untuk meningkatkan transparansi,” jelasnya.
Menurut Saidiman, tidak benar juga politik uang marak tejadi karena pemilihan langsung. Sebab, bila tak ada pemilihan langsung, uang yang beredar justru akan pindah ke elite.
“Mereka akan menyogok ketua-ketua partai. Kalau selama ini politik uang iya, tapi itu kan langsung ke masyarakat,” ujar Saidiman.
“Dan ongkos mahal apa yang dikatakan penyelenggaraan pilkada itu biasanya karena ulah dari partai-partai sendiri. Kan mereka pakai politik uang, dan seterusnya itu. Artinya bukan pada sistemnya, tapi pada mindset si partainya,” pungkasnya.