HomeHeadlineLonjakan Utang Jatuh Tempo RI 2025, Risikonya Berat, Pemerintah Jangan Main-main!

Lonjakan Utang Jatuh Tempo RI 2025, Risikonya Berat, Pemerintah Jangan Main-main!

Published on

spot_img

 328 total views

JAKARTA – Tahun 2025 menjadi ujian berat bagi keuangan negara. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada deretan utang jatuh tempo yang mencapai angka fantastis: Rp 800,33 triliun.

Angka ini melonjak tajam dari Rp 434,29 triliun pada 2024, menjadikannya salah satu beban fiskal terbesar dalam sejarah Indonesia.

Utang ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun, termasuk Rp 100 triliun kepada Bank Indonesia (BI) dari skema burden sharing saat pandemi Covid-19. Lantas, bagaimana pemerintah menyikapi beban ini, dan apa konsekuensinya jika gagal melunasi?

Deretan Utang Jatuh Tempo Terdekat

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo 2025 terdistribusi sepanjang tahun.

Pada April, pemerintah harus melunasi SBN Rp 22 triliun dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) Rp 39 triliun.

Mei menyusul dengan SBN Rp 42,4 triliun dan SRBI Rp 117,7 triliun. Puncaknya terjadi pada Juni, dengan SBN Rp 178,9 triliun dan SRBI Rp 132,7 triliun.

Paruh kedua tahun juga tak kalah menantang, dengan Oktober mencatat SBN Rp 100,7 triliun dan SRBI Rp 100,3 triliun, diikuti November dan Desember dengan masing-masing Rp 28,7 triliun dan Rp 32,1 triliun untuk SBN.

Lonjakan utang jatuh tempo merupakan warisan pandemi, saat pemerintah menarik utang besar-besaran untuk membiayai program kesehatan dan pemulihan ekonomi.

Menteri Keuangan periode sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, menyebut kebutuhan belanja tambahan saat itu mendekati Rp 1.000 triliun, yang kini berujung pada konsentrasi pembayaran di 2025-2027.

Strategi Pemerintah: Refinancing, Silpa, dan Debt Switch

Pemerintah tampaknya telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menangani beban ini. Pertama, refinancing atau penerbitan utang baru menjadi opsi utama.

Sri Mulyani, dalam pernyataan sebelumnya, optimistis investor masih mempercayai kredibilitas APBN, sehingga SBN baru dapat diterbitkan baik di pasar domestik maupun internasional. Investor yang memegang SBN jatuh tempo bahkan cenderung memilih revolve—membeli SBN baru—ketimbang mencairkan dana.

Kedua, pemerintah memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) 2024 yang mencapai Rp 45 triliun, ditambah akumulasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 459,5 triliun hingga 2023. Dana ini bisa digunakan untuk menutup sebagian kebutuhan pembiayaan 2025, meski dengan mekanisme yang diatur ketat oleh undang-undang.

Ketiga, debt switch menjadi solusi khusus untuk utang kepada BI. Direktur Jenderal DJPPR Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan bahwa SBN senilai Rp 100 triliun yang jatuh tempo 2025 akan ditukar dengan SBN reguler bertenor lebih panjang.

Mekanisme ini, yang sebelumnya diterapkan pada 2021 dan 2022, memungkinkan perpanjangan jatuh tempo tanpa tekanan likuiditas langsung.

Terakhir, prefunding atau penarikan utang awal juga telah dilakukan. Pada 2024, pemerintah mengamankan Rp 85 triliun untuk kebutuhan 2025. Strategi ini diharapkan mengurangi tekanan di tahun mendatang, meski menambah beban utang baru yang direncanakan mencapai Rp 775 triliun.

Jika Gagal Bayar, Apa Konsekuensinya?

Gagal bayar utang pemerintah bukan skenario yang diinginkan, namun bukan pula hal yang tak mungkin dipertimbangkan dalam analisis.

Jika pemerintah tidak mampu merisikolunasi utang tepat waktu, dampaknya akan sangat luas dan kompleks.

Pertama, kepercayaan investor akan runtuh. Obligasi pemerintah, yang selama ini dianggap minim risiko, bisa kehilangan daya tarik.

Akar masalahnya, seperti diungkapkan Kepala Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede, adalah meningkatnya persepsi risiko. Investor akan menuntut imbal hasil lebih tinggi, yang berarti biaya utang baru akan melonjak. Hal ini dapat membebani APBN lebih jauh, terutama jika suku bunga global tetap tinggi.

Kedua, stabilitas ekonomi makro akan terguncang. Capital outflow bisa memicu pelemahan rupiah, sebagaimana diungkapkan oleh DJPPR Kemenkeu.

Nilai tukar yang anjlok akan meningkatkan biaya impor, memicu inflasi, dan menggerus daya beli masyarakat. Pasar modal dan keuangan domestik juga berpotensi kacau, dengan volatilitas yang merugikan investor ritel maupun institusi.

Ketiga, rating kredit Indonesia bisa terdegradasi. Lembaga seperti Moody’s atau Fitch mungkin menurunkan peringkat utang negara, yang akan memperburuk akses Indonesia ke pasar utang global.

Dalam skenario terburuk, gagal bayar bisa memicu krisis keuangan mirip yang dialami beberapa negara berkembang di masa lalu, meski kondisi fiskal Indonesia saat ini—dengan rasio utang 38,49 persen terhadap PDB per Agustus 2024—masih jauh di bawah ambang batas 60 persen.

Keempat, dampak sosial dan politik tak terhindarkan. Gagal bayar dapat mengganggu operasional pemerintahan, termasuk pembayaran gaji pegawai negeri, subsidi, dan program sosial. Ketidakpuasan publik berpotensi memicu gejolak, apalagi di tengah transisi pemerintahan yang selalu rawan dinamika politik.

Langkah yang Harus Diambil

Pemerintah perlu bergerak cepat dan cerdas. Pengelolaan utang harus lebih transparan untuk menjaga kepercayaan publik dan investor.

Efisiensi belanja negara, seperti yang telah dilakukan dengan memangkas belanja non-prioritas, harus dipertahankan. Fokus pada belanja produktif—seperti infrastruktur dan transformasi ekonomi—dapat menciptakan efek berganda bagi pertumbuhan, yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara.

Peningkatan penerimaan pajak juga krusial. Rasio pajak Indonesia yang masih di bawah 10 persen terhadap PDB menunjukkan potensi besar yang belum tergarap.

Reformasi perpajakan, termasuk perluasan basis pajak dan penegakan hukum yang lebih tegas, bisa menjadi solusi jangka panjang.

Di sisi lain, diversifikasi portofolio utang perlu diperkuat. Ketergantungan pada SBN domestik (70,49 persen dari total utang) memang positif, tetapi risiko konsentrasi jatuh tempo harus dikelola dengan lebih baik melalui penyebaran tenor yang lebih merata.

Kerja sama dengan BI untuk debt switch juga harus dioptimalkan tanpa mengorbankan independensi bank sentral.

Tantangan di Depan

Utang jatuh tempo 2025 bukanlah akhir dari tantangan. Pada 2026 dan 2027, angka utang yang harus dilunasi masing-masing mencapai Rp 803,19 triliun dan Rp 802,61 triliun. Total untuk 2025-2028 bahkan tembus Rp 3.125,94 triliun.

Beban ini menuntut pemerintahan Prabowo-Gibran untuk tidak hanya fokus pada pembayaran, tetapi juga pada pengelolaan fiskal yang berkelanjutan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global—dari potensi resesi hingga fluktuasi harga komoditas—Indonesia tak boleh lengah.

Seperti kata Agung, anggota DPR, “Utang ini menjadi beban, tetapi jangan jadi hantu.” Dengan strategi yang matang dan eksekusi yang disiplin, beban utang bisa dikelola tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Namun, jika langkah salah diambil, bayang-bayang krisis akan mengintai di balik angka-angka triliunan itu.

 

Artikel Terbaru

Prabowo utus Jokowi ke Pemakaman Paus: Politisasi dan Langgar Etika Diplomatik

JAKARTA -  Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengutus mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu perwakilan Indonesia untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada 26 April 2025 menuai polemik.

Kontroversi Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional: Dinilai Melecehkan Reformasi 

INN NEWS - Usulan untuk menetapkan mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memicu polemik di tengah masyarakat. 

Wapres Bicara Bonus Demografi, Videonya Tuai Dislike Puluhan Ribu, Akhirnya Disembunyikan

JAKARTA - Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mengunggah video berjudul “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia” di kanal YouTube pribadinya pada 19 April 2025.

Pemerintah Target di Atas 5%, tapi IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Hanya 4,7% di 2025-2026

INN NEWS - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam laporan terbarunya, World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025. 

artikel yang mirip

Prabowo utus Jokowi ke Pemakaman Paus: Politisasi dan Langgar Etika Diplomatik

JAKARTA -  Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengutus mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu perwakilan Indonesia untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada 26 April 2025 menuai polemik.

Kontroversi Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional: Dinilai Melecehkan Reformasi 

INN NEWS - Usulan untuk menetapkan mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memicu polemik di tengah masyarakat. 

Wapres Bicara Bonus Demografi, Videonya Tuai Dislike Puluhan Ribu, Akhirnya Disembunyikan

JAKARTA - Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mengunggah video berjudul “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia” di kanal YouTube pribadinya pada 19 April 2025.