HomeHeadlineAnak-anak Kristen di Padang Dipukul: Krisis Pendidikan Agama di Sekolah Negeri Terkuak

Anak-anak Kristen di Padang Dipukul: Krisis Pendidikan Agama di Sekolah Negeri Terkuak

Published on

spot_img

 838 total views

INN NEWS – Minggu, 27 Juli 2025, sebuah insiden tragis terjadi di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat.

Sekelompok warga menyerang rumah doa milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) yang digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus pendidikan agama Kristen bagi anak-anak.

Dalam peristiwa tersebut, dua anak berusia 11 dan 9 tahun menjadi korban kekerasan, dipukuli dengan kayu oleh massa hingga mengalami luka-luka.

Kejadian ini tidak hanya menimbulkan trauma mendalam bagi anak-anak, tetapi juga menggarisbawahi ketimpangan akses pendidikan agama bagi siswa minoritas di Indonesia.

Peristiwa Penyerangan dan Trauma Anak

Penyerangan terjadi sekitar pukul 16.00 WIB, saat sekitar 30 anak sedang mengikuti pelajaran agama Kristen di rumah doa tersebut.

Menurut Pendeta Fatiaro Dachi, sekelompok warga mendatangi rumah doa, meneriakkan kata “bubarkan,” melempar batu, memukul jendela kaca dengan kayu, dan merusak perabotan.

Dua anak perempuan menjadi korban kekerasan: satu mengalami cedera di kaki hingga tidak bisa berjalan, dan satu lagi terluka di bahu. Keduanya telah dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan.

“Anak-anak itu histeris dan berlarian keluar. Mereka pasti sangat trauma dan saya khawatir mereka tidak mau lagi belajar agama seperti biasanya,” ungkap Pendeta Dachi.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengecam keras tindakan intoleransi ini, menyebutnya sebagai aksi teror yang dapat menimbulkan trauma berkepanjangan bagi anak-anak.

 “Tindakan tersebut sangat menyesakkan. Aksi kekerasan di depan anak-anak tentunya akan memengaruhi pertumbuhan mereka,” ujar Ketua Umum PGI, Jacky Manuputty.

Diskriminasi Pendidikan Agama Minoritas

Rumah doa di Padang Sarai didirikan untuk memberikan pendidikan agama Kristen bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri, di mana mata pelajaran agama Kristen tidak tersedia.

Aturan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan bahwa jika jumlah siswa beragama minoritas di suatu sekolah kurang dari 15 orang, pendidikan agama diselenggarakan di luar sekolah melalui kerja sama dengan lembaga keagamaan setempat.

Kondisi ini memaksa anak-anak Kristen, seperti di Padang, untuk belajar agama di rumah doa atau gereja, sering kali dengan risiko seperti yang terjadi dalam insiden ini.

Para pegiat hak asasi manusia menilai kebijakan ini mempertegas diskriminasi terhadap siswa agama minoritas.

“Anak-anak ini tidak hanya kehilangan akses pendidikan agama yang setara di sekolah, tetapi juga menghadapi ancaman dan kekerasan saat berusaha mempelajari agama mereka di luar sekolah,” ujar Tio Sianipar, aktivis perempuan Kristen.

Ia mendesak Menteri Agama dan Menteri Hukum dan HAM untuk mengambil tindakan tegas agar kasus serupa tidak terulang, bahkan menyinggung perlunya reshuffle menteri jika tidak mampu menangani masalah intoleransi.

Nasib Mata Pelajaran Agama di Sekolah Negeri

Insiden di Padang memunculkan sorotan tajam terhadap nasib pendidikan agama bagi siswa minoritas di sekolah negeri.

Anggota legislatif mendesak pemerintah untuk mempekerjakan lebih banyak guru agama minoritas guna memastikan kesetaraan layanan pendidikan.

“Pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam memberikan ruang seluas-luasnya untuk pendidikan agama, tanpa memandang jumlah siswa,” ujar Wali Kota Padang, Fadli Amran, dalam responsnya terhadap insiden tersebut.

Ia juga berjanji memerintahkan Dinas Sosial dan Kesehatan untuk memberikan trauma healing kepada anak-anak dan warga Kristen yang terdampak.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan agama masih jauh dari ideal. Banyak sekolah negeri di daerah dengan mayoritas penduduk beragama tertentu tidak menyediakan guru atau kurikulum untuk agama minoritas, memaksa siswa mencari alternatif di luar sekolah.

Hal ini tidak hanya menambah beban logistik bagi keluarga, tetapi juga meningkatkan risiko diskriminasi dan intimidasi, seperti yang dialami jemaat GKSI di Padang.

Respons Pemerintah dan Penegakan Hukum

Kepolisian Daerah Sumatera Barat telah menahan sembilan orang terduga pelaku perusakan rumah doa, berdasarkan bukti video viral yang beredar di media sosial.

“Kami akan terus kembangkan kasus ini. Tidak ada yang boleh bertindak semena-mena, semua harus sesuai koridor hukum,” tegas Wakapolda Sumbar, Brigjen Pol Solihin.

Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasco Ruseimy, menegaskan bahwa insiden ini tidak mencerminkan karakter masyarakat Minangkabau dan meminta agar Sumatera Barat tidak dilabeli sebagai daerah intoleran.

Namun, ia juga mengakui perlunya melihat akar persoalan secara menyeluruh, sembari menegaskan bahwa tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan.

 

Artikel Terbaru

AI sebagai Komposer Baru: Krisis, Revolusi, dan Reinterpretasi Musikalitas

I tidak hanya membantu merekam melodi yang sudah kita buat; ia bisa mengajukan melodi, membuat harmoni, memproduksi beat utuh, bahkan menciptakan lirik yang secara emosional resonan—dan kini, ia bahkan memiliki "wajah" dan "suara" yang menghasilkan miliaran Rupiah.

Ketika Seorang Sukidi Membunyikan Alarm, dan Gereja Justru Diam

INNNEWS - Tulisan Sukidi di harian Kompas berjudul “Alarm bagi Demokrasi” (13 November 2025)...

Suara Kegusaran di Tengah Euforia Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan

INNNEWS - Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan...

Pelatihan Menulis Aksara Jawa di PKK Kelurahan Danukusuman: Menjaga Warisan Leluhur di Era Digital

INNNEWS— Dalam upaya melestarikan budaya lokal di tengah arus modernisasi, PKK Kelurahan Danukusuman menggelar...

artikel yang mirip

AI sebagai Komposer Baru: Krisis, Revolusi, dan Reinterpretasi Musikalitas

I tidak hanya membantu merekam melodi yang sudah kita buat; ia bisa mengajukan melodi, membuat harmoni, memproduksi beat utuh, bahkan menciptakan lirik yang secara emosional resonan—dan kini, ia bahkan memiliki "wajah" dan "suara" yang menghasilkan miliaran Rupiah.

Ketika Seorang Sukidi Membunyikan Alarm, dan Gereja Justru Diam

INNNEWS - Tulisan Sukidi di harian Kompas berjudul “Alarm bagi Demokrasi” (13 November 2025)...

Suara Kegusaran di Tengah Euforia Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan

INNNEWS - Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan...